SUMBER-SUMBER PENDAPATAN TAK RESMI NEGARA
Ghanimah, Pendapatan Shadaqah (Manajemen Zakat)
Di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Keuangan Publik
Islam
Dosen Pengampu : Dr. Nafis Irkhami, M.Ag., M.A.

Di susun Oleh :
Ariful Ulum (63020160066)
Muhamad Abdul Faza (63020160149)
Progam Studi Ekonomi Syariah
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
Institut Agama Islam Negri Salatiga
2018
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan Rahmat dan KaruniaNya sehingga makalah dengan judul “Pendapatan Tak
Resmi Negara “Ghanimah dan Pendapatan Shadaqah (Menejemen Zakat)” ini dapat
terselesaikan dengan baik. Tidak lupa ucapakan terimakasih kami kepada pihak
–pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini baik materi maupun nonmateri.
Makalah
ini kami susun dengan maksimal dengan menggunakan berbagai referensi baik
berupa buku maupun media internet. Maka kami mengucapkan terimakasih kepada
pengarang buku yang kami kutip yang telah memberikan banyak sumbangan
pemikiran, penerbit yang telah menerbitkan buku tersebut, serta lembaga lain
yang menyediakan sarana buku tersebut. Dan tak lupa penulis media elektronik
yang belum sempat untuk diterbitkan, yang juga memberikan banyak sumbangan
pemikiran.
Terlepas
dari hal tersebut, kami menyadari dalam penulisan makalah ini, terdapat banyak
kekurangan baik dalam penulisan, isi maupun bahasa. Maka kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan dari para pembaca. Akhir kata semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semoga dapat menjadi sumber rujukan yang
menambah wawasan pemikiran.
Salatiga, 21 Oktober 2018
penulis
BAB 1
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Dalam Islam pendapatan dalam suatu negara tidak hanya dari
pendapatan resmi, akan tetapi juga dari pendapatan tak resmi. Distribusi
kekayaan tak resmi bisa diambil (dipungut) dari berbagai sumber baik itu dari
ghanimah, shadaqah, ataupun manajajemen zakat, semua itu adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari falsafah dan sejarah keislaman yang didasarkan pada
komitmen yang pasti terhadap persaudaraan antar manusia dan kesejahteraan antar
umat Islam. Dan hal itu jelas sekali berbeda dengan falsafah dan sistem yang
diterapkan oleh ekonomi lain (misalnya; kapitalis, komunis, dan sosialis).
Sesuai
dengan cuplikan latar belakang di atas maka dalam tugas makalah ini penulis
akan membahas tentang “Sumber-Sumber Pendapatan Tak Resmi Negara”, yang mana
meliputi beberapa poin yaitu: Ghanimah, pendapatan shadaqah (manajemen
zakat).
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka dapat diambil
rumusan masalah yang ada adalah sebagai berikut:
1)
Bagaimana pendapatan tak
resmi negara diperoleh dari Ghanimah?
2)
Bagaimana pendapatan tak
resmi negara diperoleh dari pendapatan Shadaqah (manajemen zakat)?
1.3
Tujuan
Dari rumusan
masalah di atas, maka didapatkan tujuan
penulisan dalam makalah ini yaitu:
1)
Untuk mengetahui pemasukan negara dari pendapatan tak
resmi negara melalui Ghanimah.
2)
Untuk mengetahui pemasukan negara dari pendapatan tak
resmi negara melalui pendapatan Shadaqah (manajemen zakat).
BAB 2
Pembahasan
2.1
Ghanimah
2.1.1
Definisi Ghanimah
Menurut
kamus bahasa Arab, Ghanimah berasal dari kata (ghonima-ghinimata), yang
berarti “Memperoleh Jarahan” (Rampasan Perang). Menurut Sa’id Hawwa,
ghanimah adalah harta yang diperoleh kaum Muslimin dari musuh melalui
peperangan dan kekerasan dengan mengerahkan pasukan, kuda-kuda dan unta yang
memunculkan rasa takut dalam hati kaum Musyrikin. Ia menyebut ghanimah jika
diperoleh dengan melakukan tindakan-tindakan kemiliteran seperti menembak atau
mengepung. Harta yang diambil kaum Muslimin tanpa peperangan dan tanpa
kekerasan tidak disebut ghanimah, melainkan dinamakan fay‟i.[1]
Ghanimah dalam cacatan Ar-Rahbi merupakan
karakteristik umat Nabi Muhammad SAW. Ini merupakan keisitimewaan yang Allah
berikan antara umat lainnya. Nabi-Nabi atau umat sebelum Nabi Muhammad SAW
tidak diperbolehkan mengambil sedikit pun harta rampasan perang. Yang
diperintahkan kepada mereka terhadap harta-harta tersebut adalah dengan mengumpulkannya
di tengah lapang, lalu datanglah api dari langit, kemudian membakarnya, hal itu
sebagai tandai diterimanya harta.[2]
Ghanimah bagi Abu Yusuf bukan hanya rampasan
perang yang diperoleh dari orang kafir saja, namun ia juga mencakup barang
tambang dan perhiasan yang diperoleh dari laut, serta barang temuan atau harta
karun. Walaupun para ulama membahas barang-barang tersebut dalam bab zakat.
Namun dari sisi penyimpangan Abu Yusuf tetap menggolongkan harta temuan dan
barang tambang ke dalam harta zakat, kecuali perhiasan yang diperoleh dari
laut, beliau mengkategorikan ke dalam ghonimah.[3]
Abu Yusuf juga
menggolongkan barang tambang sedikit atau banyak, dan barang temuan yang
terdiri dari emas dan perak yang Allah ciptakan dalam perut bumi, juga barang
temuan biasa yang diketahui pemiliknya serta barang-barang yang terdapat dalam
laut berupa mutiara dan perhiasan, semuanya satu hukum dengan ghanimah yaitu
bahwa pemerintah mendapatkan 1/5 dari barang-barang itu.
Subyek (wajib pajak) dari
ghanimah ini jelas adalah kaum kafir, yang diperangi oleh pasukan Muslim secara
kemiliteran, yang berada di daerah dar al-harb. Orang kafir yang berada
dalam wilayah kekuasaan Islam (al-dzimmi) bukanlah subyek dari ghanimah
ini, melainkan mereka wajib membayar fay‟i dalam bentuk jizyah dan
kharaj. Orang dzimmi haram diperangi, malah harus dilindungi. Oleh sebab
itu, ghanimah ini hanya diperoleh tatkala adanya ekspansi wilayah islam melalui
peperangan.[4]
Bentuknya bisa barang
bergerak seperti barang perhiasan serta persenjataan yang dirampas dari tangan
mereka. Ada juga binatang ternak berupa onta, seperti onta milik suku Quraisy
yang membawa perbekalan logistik dan barang dagangan, harta Yahudi bani
Qainuqa’ karena mereka mengkhianati perjanjian dengan Rasulullah SAW bisa juga harta
yang tak bergerak seperti tanah.[5]
Sedangkan untuk harta
yang tidak bisa bergerak, Ibn Taimiyah menyatakan bhawa pendistribusiannya
diserahkan kepada kebijakan negara dengan mempertimbangkan kemaslahatan ummat,
seperti pemberian iqta‟. Pembahasan mengenai iqta‟ mendapat
perhatian cukup banyak dari Ibn Taimiyyah. Pada masa Nabi, iqta‟ merupakan
pemberian hak pengelolaan tanah (tanpa hak memiliknya) yang diberikan oleh
negara kepada sesorang yang ikut berperang untuk membantu mencukupi kebutuhan
mereka dan keluarganya. Ibn Taimiyyah membedakan iqta‟ mrnjadi dua
model, yaitu iqta‟ al-tamlik dan iqta‟ al-istughlal. Iqta‟
al-tamlik merupakan hadiah kepemilikan tanah yang diberikan oleh negara
kepada orang yang ikut berpartisipasi dalam perang, atau kepada seseorang tanpa
sebab tertentu, dengan tujuan agar tanah tersebut dapat produktif (ihya
al-mawad). Sedangkan iqta‟ al-istighlal merupakan hadiah untuk
mengambil manfaat dari tanah (bukan kepemilikannya).[6]
Dengan demikian,
seseorang yang mendapatkan iqta‟ tidak berhak untuk memiliki, menjual,
memberikan atau mewariskannya kepada orang lain. Iqta‟ jenis kedua
inilah yang berlaku pada masa Ibn Taimiyyah. Menurutnya seorang muqta‟ (menerima
iqta‟) harus diijinkan untuk memperoleh keuntungan dari tanah tersebut,
baik dengan cara bagi hasil atau dengan sewa. Disampingkan menegaskan iqta‟ untuk
kesejahteraan tentara dan keuarganya, Ibn Taimiyyah juga sangat menekankan
pentingnya anggaran negara untuk pemeliharaan alat-alat perang dan militer.
Peranan ghanimah (harta
rampasan perang) dalam pendapatan negara adalah bahwa harta rampasan perang
tidak memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengaitkan pendapatan kaum
Muslimin. Dari total pendapatan masyarakat, harta rampasan hanya memberikan
beberapa persen saja. dalam uraian diatas maka hal ini merupakan simultan bagi
perkembangan perekonomian Muslim yang bertumpu pada pertanian dan perdagangan
yang kuat dengan dilandasi nilai-nilai ketekunan dan rasa perdamaian.
2.1.2
Landasan Hukum Ghanimah
Ghanimah ini merupakan salah satu dari keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada
Rasulullah atas umat-umat yang lain, dan merupakan sumber pendapatan utama
negara Islam periode awal. Dasarnya adalah perintah Allah SWT. Dalam QS.
Al-Anfal (8): 41, yang turun di Badar (usai perang badar), pada bulan Ramadhan
tahun kedua Hijriyah, sebagaimana di riwayatkan oleh Said bin Ziubair dari Ibn
Abbas, dimana pada saat itu para sahabat berselisih tentang pembagian ghanimah.
Yang artinya :
“Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang
(ghanimah), maka sesunguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang muskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada
Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) didari Furqan,
yaitu di hari bertemunya dua pasukan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuai.
(QS. Al-Anfal (8): 41)”[7]
Ghanimah
merupakan salah satu
kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad, yang tidak diberikan
Allah SWT atas Nabi yang lain. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis beliau dalam
Ash-Shahihain dari Jabir bin Abdillah r.a bahwa Nabi SAW, bersabda : “Aku
diberi lima hal yang belum pernah diberikan kepada seseorang nabi pun
sebelumnya: (1) aku ditolong dengan rasa takut (yang merasuki hati musuh)
selama sebulan (sebelum tentaraku datang menyerang (2) dijadikan untukku bumi
sebagai masjid dan untuk bersuci. Maka siapa saja dari umatku yang mendapati
waktu shalat, maka hendaklah ia shalat (3) dihalalkan bagiku harta rampasan
perang (4) nabi selaiku diutus secara khusus kepada kaumnya, sedangkan aku
diutus kepada manusia seluruhnya (5) aku diberi syafaat.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Menurut
Ibn Abbas dan Mujahid, makna kata Al-Anfal pada Qs. Al-Anfal (8) :1, adalah ghanimah.
Al-Anfal (yang telah dirampas atau dikuasai oleh sesorang Imam) adalah segala
sesuatu yang dikuasakan kepadanya dari harta orang kafir, baik sebelum atau
setelah peperangan. Oleh sebab itu, Anfal dan ghanimah adalah sama, yaitu
segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum Muslim dari harta orang kafir melalui
peperangan di medan perang. Harta tersebut bisa berupa uang, senjata,
barang-barang dagangan, bahan pengan, dan lain-lain.[8]
Dengan
QS. Al-Anfal (8) : 41, Allah menjelaskan langsung hukum tentang pembagian harta
rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. 1/5
adalah milik negara dan 4/5 dibagikan kepada yang ikut berperang. Adapaun dalam
pendistribusiannya, ghanimah hanya untuk kepentingan kaum Muslim, bukan
non-Muslim. Allah SWT juga memberikan wewenang kepad Rasulullah SAW untuk
membagikannya sesuai pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan kaum Muslimin.[9]
2.1.3
Pembagian Ghanimah
Pembagian ghanimah terbagi menjadi tiga macam,
diantaranya sebagai berikut :[10]
1.
Shafi yaitu harta rampasan yang dipilih oleh kepala Negara, harta
ini tidak boleh dibagi-bagi.
2.
Seperlima dari shafi dibagikan, seperlima untuk
Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu
sabil (QS.Al-Anfal 41). Setelah Rasul wafat, Abu Bakar menghentikan bagian
Rasul dan kerabat Rasul, menggantikannya ke fakir miskin. Demikian ini, diikuti
oleh Umar dan membagikan kepada fakir, miskin, dan ibnu sabil.
3.
Empat perlima dibagikan kepada tentara yang ikut
berperang.
Mengenai
tentara, menurut Umar ada beberapa syarat bagi tentara-tentara islam
mendapatkan bagian ghanimah antara lain :
a) Hendaknya ikut berperang. Suatu ketika Bani Atharid (termasuk
penduduk Basrah dengan penduduk Mah) minta bantuan kepada Amar bin Yasir dari
Kufah dan dia datang setelah perang selesai, ammar berkata :”kami termasuk
yang diikutkan dalam pembagian harta rampasan kalian.” Kemudian ada seorang
laki-laki dari Bani Atharid berdiri berkata “wahai orang yang terpotong
telinganya (telingga yang terpotong sebagai korban dari suatu peperangan),
kamu mau mendapatkan bagian dari harta itu? Ammar berkata “kalian telah
mencela telingga yang paling saya cintai ini”. Kemudian beliau kirim surat
kepada Umar dan Umar menjawabnya : “harta rampasan itu hanya untuk
orang-orang yang ikut berperang”.
b) Hendaknya
mereka, Umar berkata “seseorang hamba sahaya tidak punya hak bagian atas
harta rampasan perang, jika dia ikut perang bersama tuannya, tapi dia ikut
perang atas kehendaknya sendiri, maka dia mendapatkan bagian” dan Umar
dalam tulisannya “setiap hamba sahaya yang berperang dan tidak
c) Baligh, Umar tidak membagikan ghanimah kepada
tentara yang belum Baligh. Hak yang dimiliki laki-laki dan perempuan
sama dalam mendapatkan bagian harta tersebut.
Ada dua kondisi penjualan harta rampasan tersebut harus
dijual kepada siapa : pertama, menjual harta yang dirampas orang-orang
Islam kepada seorang kafir dzimmi, dan yang kedua, apabila negara
terpaksa menjual harta tersebut, maka seperlima bagian harta tersebut tidak
boleh dibeli oleh amirul mukminin maupun keluarganya.
Ketika orang-orang Islam mendapatkan rampasan, maka harta itu
diambil seperlimanya untuk Negara lalu dibawa ke hadapan amirul mukminin supaya
dibagi-bagikan kepada mereka yang berhak menerimanya dengan pengetahuannya.
Oleh sebab itu, yang berhak menangani pembagian ghanimah yaitu amirul
mukminin atau panglima perang.
2.2
Pendapatan Shadaqah
(Manajemen Zakat)
2.2.1 Shadaqah (Manajemen Zakat)
Sedekah berasal dari kata (shadaqa), yang berarti benar. Ia adalah
pembenaran (pembuktian) dan syahadat (keimanan) kepada Allah SWT dan Rasul-Nya,
yang diwujudkan dalam bentuk pengorbanan materi. Menurut istilah agama
pengertian sedekah sering kali disamakan dengan pengertian infaq, termasuk didalamnya
hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infaq berkaitan dengan
materi, sedangkan sedekah memiiliki pengertian yang lebih luas, menyangkut hal
yang bersifat materi dan non materi. Sebagaimana hadis riwayat Imam Bukhari dan
Muslim dari Abu Dzar. r.a disebutkan “ia berkata : Aku pernah bertanya
kepada Rasulullah SAW : Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama?
Rasulullah menjawab : Iman kepada allah dan berjuang dijalan-Nya. Aku bertanya
: budak manakah yang paling utama ? Rasullah menjawab : yang paling baik
menurut pemiliknya dan pling tinggi hargaanya. Aku tanya lagi : Bagaimana jika
aku tidak bekerja ? Rasulullah menjawab : Engkau dapat membantu orang yang
bekerja atau bekerja untuk orang yang tidak memiliki pekerjaan. Aku bertanya : Wahai
Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tidak mampu melakukan sebagian amal.
Rasulullah menjawab Engkau dapat mengekang kejahatanmu terhadap orang lain.
Karena hal itu merupakan sedekah darimu kepada dirimu. (H.R Bukhari Muslim).[11]
Dalam Fatwa,
menurut Ibn Taimiyyah, yang dimaksud dengan sedekah adalah zakat yang
dikenakan atas harta kekayaan Muslim tertentu. Termasuk didalamnya zakat hasil
panenan, yaitu seperti sepuluh (ushr) atau separuh dari sepersepuluh (nisful-„ushr)
yang dipungut dari hasil panen biji-bijian atau buah-buahan ; juga zakat atas
zakat binatang ternak, seperti sapi, onta, domba ; zakat atas barang dagangan
dan zakat atas dua logam mulia, yaitu emas dan perak.
Menurut
Abu Ubaid, sedekah ini terdiri dari dua macam, yaitu : (1) zakat yang dipungut
dari kekayaan kaum Muslim dan (2) bea cukai (ushr) yang dipungut dari
para pedagang Muslim sesuai dengan barang dagangan yang melintas pos-pos
pabean. Dengan demikian, menurut Abu Ubaid, sedekah terdiri dari zakat dan ushr.[12]
Tampak
terdapat perbedaan makna tentang sedekah. Menjelaskan mendalam kata sedekah
ini, Shiddiq Al-Jawi menyatakan bahwa sebenarnya terdapat tiga pengertian
tentang sedekah yaitu :
1. Sedekah
dalam pengertian sunnah (shadaqah Tathawwu)
Makna dari sedekah ini yaitu
pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun
pihak-pihak lain yang berhak menerima sedekah, tanpa disertai imbalan. Sedekah
seperti ini hukunya adalah sunnah, bukan wajib. Oleh karena itu, untuk
membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah
(shadaqah tathawwu) atau (shadaqah nafilah). Sedang untuk zakat
dipakai istilah (shadaqah mafrudhah). Namun, hukum sunnah ini bisa
menjadi haram, bilai diketahui bahwa penerima sedekah akan memanfaatkannya pada
yang haram, sesuai kaidah syara’ : “Segala peraturan kepada yang haram,
hukumnya haram pula”.
2. Sedekah
dalam pengertian Zakat
Ini merupakan makna kedua dari
sedekah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh Shadaqah yang
berarti zakat. Dalam firman Allah SWT (QS. At-Taubah (9) :60) : “Sesungguhnya
zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang kafir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dalam ayat tersebut “zakat-zakat”
diungkapkan dengan lafazh “Ash-Shadaqat”. Begitu pula sabda Nabi SAW
kepada Mu’tadz bin Jabal r.a ketika dia diutus Nabi ke Yaman. Berdasarkan
nash-nash dan yang semisalnya, sedekah merupakan kata lain dari zakat. Namun
demikian, penggunaan kata sedekah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat
mutlak. Artinya, untuk mengartikan sedekah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah
(indikasi) yang menunjukkan bahwa kata sedakah dalam konteks ayat atau
hadis tertentu artiny adalah zakat yang berhukum wajib, bukan Shadaqah
Tathawwu yan berhukum sunnah.
Pada ayat QS. At-Taubah (9): 60
diatas, lafazh ash shadaqat diartikan sebagai zakat (yang hukumnya
wajib), karena pada ujung ayatvtersebut terdapat ungkapan (fharidhatan
minallah). Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Ungkapan ini
merupakan qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash-shdaqat”
dalam ayat tadi adalah zakat yang wajib, buka sedekah yang lain-lain.
3. Sedekah dalam
pengertian sesuatu yang Ma’ruf (benar dalam pandangan syara’)
Pengertian ini didasarkan pada hadist
shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda (kullu ma‟rufin shadaqah),
yang artinya “setiap kebijakan, adalah sedekah”. Berdasarkan hadis ini,
maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah sedekah, memberi nafkah kepada
keluarga adalah sedekah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah, menumpahkan
syahwat kepada istri adalah sedekah, dan tersenyum kepada sesama Muslim pun
adalah juga sedekah.
Arti sedekah yang sangat luas inilah
yang dimaksudkan oleh al-Jurjani dalam kitabnya (At‟rifat). Menurut beliau
“sedekah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari
Allah SWT. Pemberian disini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang
berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan yang baik.
Jika demikian halnya, bararti membayar zakat dan sedekah (harta) pun bisa
dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa
menimbulkan keracuan dengan arti sedekah yang pertma atau kedua dkarenakan
maknanya yang sangat luas.
BAB 3
Peutup
3.1
Kesimpulan
Dari uraian pemabahasan tentang sumber-sumber pendapatan tak
resmi negara (ghanimah, pendapat shadaqah dalam manajemen zakat) diatas.
Penulis menyimpulkan bahwa ada beberapa kesimpulan antara lain, sebagai berikut
:
1.
Ghanimah merupakan harta yang dirampas dari orang-orang Islam dari
tentara kafir dengan jalan perang,
2.
Landasan hukum ghanimah dijelaskan dalam QS.
Al-Anfal (8) :41 yaitu pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya
sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. 1/5 adalah milik negara dan 4/5
dibagikan kepada yang ikut berperang.
3.
Pembagian ghanimah dibagi menjadi tiga macam
yaitu :
a.
Shafi yaitu harta rampasan yang dipilih oleh kepala Negara. Harta
ini tidak boleh dibagi-bagikan.
b.
Seperlima dari shafi dibagikan, seperlima untuk
Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang msikin, dan ibnu
sabil.
c.
Empat perlima dibagikan kepada tentara yang ikut
berperang.
4.
Shadaqah merupakan adalah zakat yang dikenakan atas
harta kekayaan Muslim tertentu, termasuk didalamnya zakat hasil panenan.
Shadaqah ini dibagi menjadi dua macam, yaitu (1) zakat yang dipungut dari
kekayaan kaum Muslimindan (2) bea cukai yang dipungut dari para pedagang
Muslim sesuai dengan barang dagangan.
5.
Untuk mengartikan sedekah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah
(indikasi) yang menunjukkan bahwa kata sedakah dalam konteks ayat atau
hadis tertentu artiny adalah zakat yang berhukum wajib, bukan Shadaqah
Tathawwu yan berhukum sunnah.
Daftar Pustaka
Gusfahmi, 2007, Pajak Menurut
Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Huda, Nurul, Ahmad Muti, 2011, Keuangan
Publik Islam, Bogor: Ghalia Indonesia.
Nafis
Irkhami.(2012).” Keuangan
Publik Islam: Persepektif Ekonomi Islam”. (Salatiga: STAIN Salatiga Press
Ridho, Ali. (2013). Kebijakan Ekonomi
Umar Bin Khattab. Jurnal Al-„Adl, Vol 2 No. 2, 83-87.
[1] Gusfahmi.(2007).” Pajak Menurut
Syariah”.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm.86
[2] Nurul Huda.(2011).” Keuangan Publik Islami
(Pendekatan Al-Kharaj/Imam Abu Yusuf) Cet.1, “.Bogor: Ghalia Indonesia,
hlm.96
[3] Nurul Huda.(2011).” Keuangan Publik Islami (Pendekatan
Al-Kharaj/Imam Abu Yusuf) Cet.1, “.Bogor: Ghalia Indonesia, hlm.97
[5] Ibid.
Hlm 90
[6]
Nafis Irkhami.(2012).” Keuangan Publik Islam: Persepektif Ekonomi Islam”.
(Salatiga: STAIN Salatiga Press. hlm.77
[9] Ibid. Hlm 91
[10] Ali Ridho, Kebijakan
Ekonomi Umar Ibn Khatab, (Yogyakarta: Jurnal Al-‘Adl UIN Sunan Kalijaga,
2013), hlm.9
mantul
BalasHapus