Langsung ke konten utama

SUMBER-SUMBER PENDAPATAN TAK RESMI NEGARA Ghanimah, Pendapatan Shadaqah (Manajemen Zakat)


 



SUMBER-SUMBER PENDAPATAN TAK RESMI NEGARA
Ghanimah, Pendapatan Shadaqah (Manajemen Zakat)

Di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Keuangan Publik Islam
Dosen Pengampu : Dr. Nafis Irkhami, M.Ag., M.A.





Di susun Oleh :

Ariful Ulum                (63020160066)
Muhamad Abdul Faza (63020160149)




Progam Studi Ekonomi Syariah
Fakultas Ekonomi  Dan Bisnis Islam
Institut Agama Islam Negri Salatiga
2018

Kata Pengantar


Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan KaruniaNya sehingga makalah dengan judul “Pendapatan Tak Resmi Negara “Ghanimah dan Pendapatan Shadaqah (Menejemen Zakat)” ini dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa ucapakan terimakasih kami kepada pihak –pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini baik materi maupun nonmateri.
            Makalah ini kami susun dengan maksimal dengan menggunakan berbagai referensi baik berupa buku maupun media internet. Maka kami mengucapkan terimakasih kepada pengarang buku yang kami kutip yang telah memberikan banyak sumbangan pemikiran, penerbit yang telah menerbitkan buku tersebut, serta lembaga lain yang menyediakan sarana buku tersebut. Dan tak lupa penulis media elektronik yang belum sempat untuk diterbitkan, yang juga memberikan banyak sumbangan pemikiran.
            Terlepas dari hal tersebut, kami menyadari dalam penulisan makalah ini, terdapat banyak kekurangan baik dalam penulisan, isi maupun bahasa. Maka kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari para pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semoga dapat menjadi sumber rujukan yang menambah wawasan pemikiran.


Salatiga, 21 Oktober 2018



penulis


BAB 1

Pendahuluan

  1.1            Latar Belakang

Dalam Islam pendapatan dalam suatu negara tidak hanya dari pendapatan resmi, akan tetapi juga dari pendapatan tak resmi. Distribusi kekayaan tak resmi bisa diambil (dipungut) dari berbagai sumber baik itu dari ghanimah, shadaqah, ataupun manajajemen zakat, semua itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari falsafah dan sejarah keislaman yang didasarkan pada komitmen yang pasti terhadap persaudaraan antar manusia dan kesejahteraan antar umat Islam. Dan hal itu jelas sekali berbeda dengan falsafah dan sistem yang diterapkan oleh ekonomi lain (misalnya; kapitalis, komunis, dan sosialis).
Sesuai dengan cuplikan latar belakang di atas maka dalam tugas makalah ini penulis akan membahas tentang “Sumber-Sumber Pendapatan Tak Resmi Negara”, yang mana meliputi beberapa poin yaitu: Ghanimah, pendapatan shadaqah (manajemen zakat).

  1.2            Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka dapat diambil rumusan masalah yang ada adalah sebagai berikut:
1)        Bagaimana pendapatan tak resmi negara diperoleh dari Ghanimah?
2)        Bagaimana pendapatan tak resmi negara diperoleh dari pendapatan Shadaqah (manajemen zakat)?

  1.3            Tujuan

Dari rumusan masalah di atas, maka didapatkan  tujuan penulisan dalam makalah ini yaitu:
1)        Untuk mengetahui pemasukan negara dari pendapatan tak resmi negara melalui Ghanimah.
2)        Untuk mengetahui pemasukan negara dari pendapatan tak resmi negara melalui pendapatan Shadaqah (manajemen zakat).

BAB 2

Pembahasan


2.1     Ghanimah

2.1.1      Definisi Ghanimah

Menurut kamus bahasa Arab, Ghanimah berasal dari kata (ghonima-ghinimata), yang berarti “Memperoleh Jarahan” (Rampasan Perang). Menurut Sa’id Hawwa, ghanimah adalah harta yang diperoleh kaum Muslimin dari musuh melalui peperangan dan kekerasan dengan mengerahkan pasukan, kuda-kuda dan unta yang memunculkan rasa takut dalam hati kaum Musyrikin. Ia menyebut ghanimah jika diperoleh dengan melakukan tindakan-tindakan kemiliteran seperti menembak atau mengepung. Harta yang diambil kaum Muslimin tanpa peperangan dan tanpa kekerasan tidak disebut ghanimah, melainkan dinamakan fay‟i.[1]
Ghanimah dalam cacatan Ar-Rahbi merupakan karakteristik umat Nabi Muhammad SAW. Ini merupakan keisitimewaan yang Allah berikan antara umat lainnya. Nabi-Nabi atau umat sebelum Nabi Muhammad SAW tidak diperbolehkan mengambil sedikit pun harta rampasan perang. Yang diperintahkan kepada mereka terhadap harta-harta tersebut adalah dengan mengumpulkannya di tengah lapang, lalu datanglah api dari langit, kemudian membakarnya, hal itu sebagai tandai diterimanya harta.[2]
Ghanimah bagi Abu Yusuf bukan hanya rampasan perang yang diperoleh dari orang kafir saja, namun ia juga mencakup barang tambang dan perhiasan yang diperoleh dari laut, serta barang temuan atau harta karun. Walaupun para ulama membahas barang-barang tersebut dalam bab zakat. Namun dari sisi penyimpangan Abu Yusuf tetap menggolongkan harta temuan dan barang tambang ke dalam harta zakat, kecuali perhiasan yang diperoleh dari laut, beliau mengkategorikan ke dalam ghonimah.[3]
Abu Yusuf juga menggolongkan barang tambang sedikit atau banyak, dan barang temuan yang terdiri dari emas dan perak yang Allah ciptakan dalam perut bumi, juga barang temuan biasa yang diketahui pemiliknya serta barang-barang yang terdapat dalam laut berupa mutiara dan perhiasan, semuanya satu hukum dengan ghanimah yaitu bahwa pemerintah mendapatkan 1/5 dari barang-barang itu.
Subyek (wajib pajak) dari ghanimah ini jelas adalah kaum kafir, yang diperangi oleh pasukan Muslim secara kemiliteran, yang berada di daerah dar al-harb. Orang kafir yang berada dalam wilayah kekuasaan Islam (al-dzimmi) bukanlah subyek dari ghanimah ini, melainkan mereka wajib membayar fay‟i dalam bentuk jizyah dan kharaj. Orang dzimmi haram diperangi, malah harus dilindungi. Oleh sebab itu, ghanimah ini hanya diperoleh tatkala adanya ekspansi wilayah islam melalui peperangan.[4]
Bentuknya bisa barang bergerak seperti barang perhiasan serta persenjataan yang dirampas dari tangan mereka. Ada juga binatang ternak berupa onta, seperti onta milik suku Quraisy yang membawa perbekalan logistik dan barang dagangan, harta Yahudi bani Qainuqa’ karena mereka mengkhianati perjanjian dengan Rasulullah SAW bisa juga harta yang tak bergerak seperti tanah.[5]
Sedangkan untuk harta yang tidak bisa bergerak, Ibn Taimiyah menyatakan bhawa pendistribusiannya diserahkan kepada kebijakan negara dengan mempertimbangkan kemaslahatan ummat, seperti pemberian iqta‟. Pembahasan mengenai iqta‟ mendapat perhatian cukup banyak dari Ibn Taimiyyah. Pada masa Nabi, iqta‟ merupakan pemberian hak pengelolaan tanah (tanpa hak memiliknya) yang diberikan oleh negara kepada sesorang yang ikut berperang untuk membantu mencukupi kebutuhan mereka dan keluarganya. Ibn Taimiyyah membedakan iqta‟ mrnjadi dua model, yaitu iqta‟ al-tamlik dan iqta‟ al-istughlal. Iqta‟ al-tamlik merupakan hadiah kepemilikan tanah yang diberikan oleh negara kepada orang yang ikut berpartisipasi dalam perang, atau kepada seseorang tanpa sebab tertentu, dengan tujuan agar tanah tersebut dapat produktif (ihya al-mawad). Sedangkan iqta‟ al-istighlal merupakan hadiah untuk mengambil manfaat dari tanah (bukan kepemilikannya).[6]
Dengan demikian, seseorang yang mendapatkan iqta‟ tidak berhak untuk memiliki, menjual, memberikan atau mewariskannya kepada orang lain. Iqta‟ jenis kedua inilah yang berlaku pada masa Ibn Taimiyyah. Menurutnya seorang muqta‟ (menerima iqta‟) harus diijinkan untuk memperoleh keuntungan dari tanah tersebut, baik dengan cara bagi hasil atau dengan sewa. Disampingkan menegaskan iqta‟ untuk kesejahteraan tentara dan keuarganya, Ibn Taimiyyah juga sangat menekankan pentingnya anggaran negara untuk pemeliharaan alat-alat perang dan militer.
Peranan ghanimah (harta rampasan perang) dalam pendapatan negara adalah bahwa harta rampasan perang tidak memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengaitkan pendapatan kaum Muslimin. Dari total pendapatan masyarakat, harta rampasan hanya memberikan beberapa persen saja. dalam uraian diatas maka hal ini merupakan simultan bagi perkembangan perekonomian Muslim yang bertumpu pada pertanian dan perdagangan yang kuat dengan dilandasi nilai-nilai ketekunan dan rasa perdamaian.

2.1.2      Landasan Hukum Ghanimah

Ghanimah ini merupakan salah satu dari keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah atas umat-umat yang lain, dan merupakan sumber pendapatan utama negara Islam periode awal. Dasarnya adalah perintah Allah SWT. Dalam QS. Al-Anfal (8): 41, yang turun di Badar (usai perang badar), pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijriyah, sebagaimana di riwayatkan oleh Said bin Ziubair dari Ibn Abbas, dimana pada saat itu para sahabat berselisih tentang pembagian ghanimah.
Yang artinya :
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang (ghanimah), maka sesunguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang muskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) didari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuai. (QS. Al-Anfal (8): 41)”[7]
Ghanimah merupakan salah satu kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad, yang tidak diberikan Allah SWT atas Nabi yang lain. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis beliau dalam Ash-Shahihain dari Jabir bin Abdillah r.a bahwa Nabi SAW, bersabda : “Aku diberi lima hal yang belum pernah diberikan kepada seseorang nabi pun sebelumnya: (1) aku ditolong dengan rasa takut (yang merasuki hati musuh) selama sebulan (sebelum tentaraku datang menyerang (2) dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan untuk bersuci. Maka siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, maka hendaklah ia shalat (3) dihalalkan bagiku harta rampasan perang (4) nabi selaiku diutus secara khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada manusia seluruhnya (5) aku diberi syafaat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Ibn Abbas dan Mujahid, makna kata Al-Anfal pada Qs. Al-Anfal (8) :1, adalah ghanimah. Al-Anfal (yang telah dirampas atau dikuasai oleh sesorang Imam) adalah segala sesuatu yang dikuasakan kepadanya dari harta orang kafir, baik sebelum atau setelah peperangan. Oleh sebab itu, Anfal dan ghanimah adalah sama, yaitu segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum Muslim dari harta orang kafir melalui peperangan di medan perang. Harta tersebut bisa berupa uang, senjata, barang-barang dagangan, bahan pengan, dan lain-lain.[8]
Dengan QS. Al-Anfal (8) : 41, Allah menjelaskan langsung hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. 1/5 adalah milik negara dan 4/5 dibagikan kepada yang ikut berperang. Adapaun dalam pendistribusiannya, ghanimah hanya untuk kepentingan kaum Muslim, bukan non-Muslim. Allah SWT juga memberikan wewenang kepad Rasulullah SAW untuk membagikannya sesuai pertimbangan beliau mengenai kemaslahatan kaum Muslimin.[9]

2.1.3      Pembagian Ghanimah

Pembagian ghanimah terbagi menjadi tiga macam, diantaranya sebagai berikut :[10]
1.        Shafi yaitu harta rampasan yang dipilih oleh kepala Negara, harta ini tidak boleh dibagi-bagi.
2.        Seperlima dari shafi dibagikan, seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil (QS.Al-Anfal 41). Setelah Rasul wafat, Abu Bakar menghentikan bagian Rasul dan kerabat Rasul, menggantikannya ke fakir miskin. Demikian ini, diikuti oleh Umar dan membagikan kepada fakir, miskin, dan ibnu sabil.
3.        Empat perlima dibagikan kepada tentara yang ikut berperang.

Mengenai tentara, menurut Umar ada beberapa syarat bagi tentara-tentara islam mendapatkan bagian ghanimah antara lain :

a)      Hendaknya ikut berperang. Suatu ketika Bani Atharid (termasuk penduduk Basrah dengan penduduk Mah) minta bantuan kepada Amar bin Yasir dari Kufah dan dia datang setelah perang selesai, ammar berkata :”kami termasuk yang diikutkan dalam pembagian harta rampasan kalian.” Kemudian ada seorang laki-laki dari Bani Atharid berdiri berkata “wahai orang yang terpotong telinganya (telingga yang terpotong sebagai korban dari suatu peperangan), kamu mau mendapatkan bagian dari harta itu? Ammar berkata “kalian telah mencela telingga yang paling saya cintai ini”. Kemudian beliau kirim surat kepada Umar dan Umar menjawabnya : “harta rampasan itu hanya untuk orang-orang yang ikut berperang”.
b)      Hendaknya mereka, Umar berkata “seseorang hamba sahaya tidak punya hak bagian atas harta rampasan perang, jika dia ikut perang bersama tuannya, tapi dia ikut perang atas kehendaknya sendiri, maka dia mendapatkan bagian” dan Umar dalam tulisannya “setiap hamba sahaya yang berperang dan tidak
c)      Baligh, Umar tidak membagikan ghanimah kepada tentara yang belum Baligh. Hak yang dimiliki laki-laki dan perempuan sama dalam mendapatkan bagian harta tersebut.
Ada dua kondisi penjualan harta rampasan tersebut harus dijual kepada siapa : pertama, menjual harta yang dirampas orang-orang Islam kepada seorang kafir dzimmi, dan yang kedua, apabila negara terpaksa menjual harta tersebut, maka seperlima bagian harta tersebut tidak boleh dibeli oleh amirul mukminin maupun keluarganya.
Ketika orang-orang Islam mendapatkan rampasan, maka harta itu diambil seperlimanya untuk Negara lalu dibawa ke hadapan amirul mukminin supaya dibagi-bagikan kepada mereka yang berhak menerimanya dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu, yang berhak menangani pembagian ghanimah yaitu amirul mukminin atau panglima perang.

2.2     Pendapatan Shadaqah (Manajemen Zakat)

2.2.1      Shadaqah (Manajemen Zakat)

Sedekah berasal dari kata (shadaqa), yang berarti benar. Ia adalah pembenaran (pembuktian) dan syahadat (keimanan) kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, yang diwujudkan dalam bentuk pengorbanan materi. Menurut istilah agama pengertian sedekah sering kali disamakan dengan pengertian infaq, termasuk didalamnya hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infaq berkaitan dengan materi, sedangkan sedekah memiiliki pengertian yang lebih luas, menyangkut hal yang bersifat materi dan non materi. Sebagaimana hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Dzar. r.a disebutkan “ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW : Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama? Rasulullah menjawab : Iman kepada allah dan berjuang dijalan-Nya. Aku bertanya : budak manakah yang paling utama ? Rasullah menjawab : yang paling baik menurut pemiliknya dan pling tinggi hargaanya. Aku tanya lagi : Bagaimana jika aku tidak bekerja ? Rasulullah menjawab : Engkau dapat membantu orang yang bekerja atau bekerja untuk orang yang tidak memiliki pekerjaan. Aku bertanya : Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tidak mampu melakukan sebagian amal. Rasulullah menjawab Engkau dapat mengekang kejahatanmu terhadap orang lain. Karena hal itu merupakan sedekah darimu kepada dirimu. (H.R Bukhari Muslim).[11]
Dalam Fatwa, menurut Ibn Taimiyyah, yang dimaksud dengan sedekah adalah zakat yang dikenakan atas harta kekayaan Muslim tertentu. Termasuk didalamnya zakat hasil panenan, yaitu seperti sepuluh (ushr) atau separuh dari sepersepuluh (nisful-„ushr) yang dipungut dari hasil panen biji-bijian atau buah-buahan ; juga zakat atas zakat binatang ternak, seperti sapi, onta, domba ; zakat atas barang dagangan dan zakat atas dua logam mulia, yaitu emas dan perak.
Menurut Abu Ubaid, sedekah ini terdiri dari dua macam, yaitu : (1) zakat yang dipungut dari kekayaan kaum Muslim dan (2) bea cukai (ushr) yang dipungut dari para pedagang Muslim sesuai dengan barang dagangan yang melintas pos-pos pabean. Dengan demikian, menurut Abu Ubaid, sedekah terdiri dari zakat dan ushr.[12]
Tampak terdapat perbedaan makna tentang sedekah. Menjelaskan mendalam kata sedekah ini, Shiddiq Al-Jawi menyatakan bahwa sebenarnya terdapat tiga pengertian tentang sedekah yaitu :
1.    Sedekah dalam pengertian sunnah (shadaqah Tathawwu)
Makna dari sedekah ini yaitu pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima sedekah, tanpa disertai imbalan. Sedekah seperti ini hukunya adalah sunnah, bukan wajib. Oleh karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah (shadaqah tathawwu) atau (shadaqah nafilah). Sedang untuk zakat dipakai istilah (shadaqah mafrudhah). Namun, hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bilai diketahui bahwa penerima sedekah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ : “Segala peraturan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.
2.    Sedekah dalam pengertian Zakat
Ini merupakan makna kedua dari sedekah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh Shadaqah yang berarti zakat. Dalam firman Allah SWT (QS. At-Taubah (9) :60) : “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang kafir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Dalam ayat tersebut “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “Ash-Shadaqat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’tadz bin Jabal r.a ketika dia diutus Nabi ke Yaman. Berdasarkan nash-nash dan yang semisalnya, sedekah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata sedekah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan sedekah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata sedakah dalam konteks ayat atau hadis tertentu artiny adalah zakat yang berhukum wajib, bukan Shadaqah Tathawwu yan berhukum sunnah.
Pada ayat QS. At-Taubah (9): 60 diatas, lafazh ash shadaqat diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayatvtersebut terdapat ungkapan (fharidhatan minallah). Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Ungkapan ini merupakan qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash-shdaqat” dalam ayat tadi adalah zakat yang wajib, buka sedekah yang lain-lain.
3.    Sedekah dalam pengertian sesuatu yang Ma’ruf (benar dalam pandangan syara’)
Pengertian ini didasarkan pada hadist shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda (kullu ma‟rufin shadaqah), yang artinya “setiap kebijakan, adalah sedekah”. Berdasarkan hadis ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah sedekah, memberi nafkah kepada keluarga adalah sedekah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah, menumpahkan syahwat kepada istri adalah sedekah, dan tersenyum kepada sesama Muslim pun adalah juga sedekah.
Arti sedekah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh al-Jurjani dalam kitabnya (At‟rifat). Menurut beliau “sedekah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT. Pemberian disini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan yang baik. Jika demikian halnya, bararti membayar zakat dan sedekah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan keracuan dengan arti sedekah yang pertma atau kedua dkarenakan maknanya yang sangat luas.

BAB 3

Peutup

  3.1            Kesimpulan

Dari uraian pemabahasan tentang sumber-sumber pendapatan tak resmi negara (ghanimah, pendapat shadaqah dalam manajemen zakat) diatas. Penulis menyimpulkan bahwa ada beberapa kesimpulan antara lain, sebagai berikut :
1.    Ghanimah merupakan harta yang dirampas dari orang-orang Islam dari tentara kafir dengan jalan perang,
2.    Landasan hukum ghanimah dijelaskan dalam QS. Al-Anfal (8) :41 yaitu pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. 1/5 adalah milik negara dan 4/5 dibagikan kepada yang ikut berperang.
3.    Pembagian ghanimah dibagi menjadi tiga macam yaitu :
a.    Shafi yaitu harta rampasan yang dipilih oleh kepala Negara. Harta ini tidak boleh dibagi-bagikan.
b.    Seperlima dari shafi dibagikan, seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang msikin, dan ibnu sabil.
c.    Empat perlima dibagikan kepada tentara yang ikut berperang.
4.    Shadaqah merupakan adalah zakat yang dikenakan atas harta kekayaan Muslim tertentu, termasuk didalamnya zakat hasil panenan. Shadaqah ini dibagi menjadi dua macam, yaitu (1) zakat yang dipungut dari kekayaan kaum Muslimindan (2) bea cukai yang dipungut dari para pedagang Muslim sesuai dengan barang dagangan.
5.    Untuk mengartikan sedekah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata sedakah dalam konteks ayat atau hadis tertentu artiny adalah zakat yang berhukum wajib, bukan Shadaqah Tathawwu yan berhukum sunnah.

Daftar Pustaka

Gusfahmi, 2007, Pajak Menurut Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Huda, Nurul, Ahmad Muti, 2011, Keuangan Publik Islam, Bogor: Ghalia Indonesia.
Nafis Irkhami.(2012).” Keuangan Publik Islam: Persepektif Ekonomi Islam”. (Salatiga: STAIN Salatiga Press
Ridho, Ali. (2013). Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khattab. Jurnal Al-„Adl, Vol 2 No. 2, 83-87.


[1] Gusfahmi.(2007).” Pajak Menurut Syariah”.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm.86 
[2] Nurul Huda.(2011).” Keuangan Publik Islami (Pendekatan Al-Kharaj/Imam Abu Yusuf) Cet.1, “.Bogor: Ghalia Indonesia, hlm.96 
[3] Nurul Huda.(2011).” Keuangan Publik Islami (Pendekatan Al-Kharaj/Imam Abu Yusuf) Cet.1, “.Bogor: Ghalia Indonesia, hlm.97 
[4] Gusfahmi.(2007).” Pajak Menurut Syariah”.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm.98
[5] Ibid. Hlm 90
[6] Nafis Irkhami.(2012).” Keuangan Publik Islam: Persepektif Ekonomi Islam”. (Salatiga: STAIN Salatiga Press.  hlm.77 
[7] Gusfahmi.(2007).” Pajak Menurut Syariah”.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm.87
[8] Gusfahmi.(2007).” Pajak Menurut Syariah”.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm.88
[9] Ibid. Hlm 91
[10] Ali Ridho, Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khatab, (Yogyakarta: Jurnal Al-‘Adl UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm.9 
[11] Gusfahmi.(2007).” Pajak Menurut Syariah”.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm.94
[12] Gusfahmi.(2007).” Pajak Menurut Syariah”.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm.95

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep dasar Kewirausahaan

KONSEP DASAR KEWIRAUSAHAAN Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kewirausahaan Dosen pengampu : Nur Budiarso, M.M. Di Susun oleh : Ardria Oxfa Fatekhah             (63020160060) Muhamad Abdul Faza                         (63020160149) S1 EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SALATIGA 2018 KATA PENGANATAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan KaruniaNya sehingga makalah dengan judul “ Konsep Dasar Kewirausahaan ” ini dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa ucapakan terimakasih kami kepada pihak –pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini baik materi maupun nonmateri.             Makalah...

Maksimisasi Keuntungan

MAKALAH TEORI EKONOMI MIKRO MAKSIMISASI KEUNTUNGAN Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah  Teori Ekonomi Mikro Dosen  pengampu :Widhiharso, M.Si Di  susun oleh : 1.      Muhamad Hanif Alwi    (63020160145) 2.      Muhamad Abdul Faza   (63020160149) 3.      Agus Tri Widodo           (63020160165) Kelas D S1 EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SALATIGA 2017 KATA PENGANTAR Dengan Mengucapakan Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas kehendak nya kami telah dapat menyelesaikan makalah ini. meskipun banyak sekali kekurangan dan kesalahan didalamnya, namun kami berharap makalah ini dapat berfungsi sebagai penambah ilmu dan wawasan bagi kami dan para pembaca.  Makalah ini memuat tentang ...

Pembayaran dan Standar Moneter Internasional

PEMBAYARAN DAN STANDAR MONETER INTERNASIONAL Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Moneter Islam Dosen pengampu :   Fathan Budiman, S.H.I, M.E.I. Di susun oleh : 1.       Aji Santosa                              (63020160116) 2.       Muhamad Abdul Faza                         (63020160149) Kelas   : 4E S1 EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SALATIGA 2018 KATA PENGANTAR DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .. ii DAFTAR ISI . iii BAB 1 PENDAHULUAN .. 1 2.1       Latar Belakang . 1 2.2       Rumusan Masalah . 1 2....