Implementasi Akad Dalam Keuangan Islam
(Murabahah, Musawwamah, Ijarah, Mukabarah, dan Musyarakah)
Di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Keuangan Islam 1
Dosen Pengampu : Fathan Budiman, S.H.I.,M.E.I.
Di susun oleh :
Aprila Gusti
Winasa (63020160058)
Diah Cahyani (63020160085)
Muhamad Abdul
Faza
(63020160149)
Progam Studi Ekonomi Syariah
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Islam
Institut Agama Islam Negri Salatiga
2018
Kata
Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan
KaruniaNya sehingga makalah dengan judul “Implementasi Akad Dalam Keuangan
Syariah” ini dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa ucapakan
terimakasih kami kepada pihak –pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini
baik materi maupun nonmateri.
Makalah ini kami
susun dengan maksimal dengan menggunakan berbagai referensi baik berupa buku
maupun media internet. Maka kami mengucapkan terimakasih kepada pengarang buku
yang kami kutip yang telah memberikan banyak sumbangan pemikiran, penerbit yang
telah menerbitkan buku tersebut, serta lembaga lain yang menyediakan sarana
buku tersebut. Dan tak lupa penulis media elektronik yang belum sempat untuk
diterbitkan, yang juga memberikan banyak sumbangan pemikiran.
Terlepas dari hal
tersebut, kami menyadari dalam penulisan makalah ini, terdapat banyak
kekurangan baik dalam penulisan, isi maupun bahasa. Maka kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan dari para pembaca. Akhir kata semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semoga dapat menjadi sumber rujukan yang
menambah wawasan pemikiran.
Salatiga, 9 Oktober 2018
penulis
BAB 1
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Akad menurut bahasa adalah ikatan atau persetujuan,
sedangkan menurut istilah adalah transaksi atau kesepakatan seseorang (yang menyerahkan) dengan orag lain (yang
menerima) untuk pelaksanaan suatu perbuatan. Contohnya : akadjual beli, akad
sewa menyewa. Dasar hukumnya adalah “Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad itu.” (Al-Maidah:1). Adapun macam-macam akad, yaitu Murabahah, Musawwamah, Ijarah, Mukabarah, dan
Musyarakah. Dari kelima akad tersebut terdapat kesepakatan yaitu sistem bagi
hasil, pembiayaan dan sistem kerjasamanya. Hal-hal tersebut akan kita jelaskan
pada materi bab slanjutnya.
1.2
Rumusan Masalah
1) Bagaimana
implementasi akad murabahah?
2) Bagaimana
implementasi akad musawwamah?
3) Bagaimana
implementasi akad ijarah?
4) Bagaimana
implementasi akad mukabarah?
5) Bagaimana
implementasi akad musyarakah?
1.3
Tujuan
1) Untuk
mengetahui implementasi akad murabahah.
2) Untuk
mengetahui implementasi akad musawwaah.
3) Untuk
mengetahui implementasi akad ijarah.
4) Untuk
mengetahui implementasi akad mukabarah.
5) Untuk
mengetahui implementasi akad musyarakah.
BAB 2
Pembahasan
2.1
Implementasi Akad Murabahah
A.
Definisi Akad Murabahah
Para ulama membagi jual beli kepada kedua jenis ,yaitu
musawamah (saling tawar menawar) dan murabahah (beruntng ) murabahah secara bahasa merupakan masdhar dari kalimat ribhun yang berarti ziyadah (tambahan) . golongan makiyah berpendapat jika,bila penjual mengatakan harga barang kepada kepada
pembeli dan minta keuntungan dari pembeli
dengan perkataan “au beli
barang ini 10 dinar dan berikanlah aku laba satu atau 2 dinar,ini merupakan murabahah.[1]
Dengan demikian ,murabahah merupakan akad jual beli dengan modal
pokok di tambah keuntungan ,dimana
penjual menyebutkan harga pokok
pembelian barang (modal) kepada pembeli ,seperti perkiraan “saya beli
barang ini Rp.1.000.000 maka berilah aku
laba Rp.100 atau Rp.200
B.
Implementasi Akad
Murabahah
Dalam
perbankan syariah akad murabahah diterakan
pada pembiayaan murabahah,yaitu
pembiayaan dalam bentuk jual beli barang
dengan modal pokok ditambah keuntungan(margin) yang disepakati antara
nasabah dan bank.dimana bank
bersedia untuk membiayai pengadaan barang yang dibutuhkan nasabah ditambah dengan margin kentungan yang telah disepakati ,kemudian nasabah membayar
sesuai dengan jangka waktu yang
disepakati.
Berdasaran
Fatwa Dewan Syariah Nasional
No;04/DSN-MU/IV/2000 tenntang murabahah,akad pembiayaan murabahah terlaksana dengan kedatangan
nasabah ke bank syariah untuk mengajukan permohoan pembiayaan murabahah dan janji pembelian suatu barang yang diperlukan nasabah,bank kemudian menawarkan suatu
asetnya tersebut kepada nasabah dan nasabah harus membelinya sesuai
dengan janji yang telah
disepakatinya ,karena secara hukum
janji tersebut mengikat .bank
menjual barang kepada nasabah pada tingkat hargga yang disetujui bersama
yang terdir dari harga
pembeliaan ditambah margin keuntungan
untuk dibayar dalam jangka waktu yang telah disetujui bersama.[2]
Gambar 1
Sekema Akad Murabahah
Keterangan :
1.
Nasabah
mengajukan permohonan ke bank
.kemudiaan antara nasabah dengan melahkukan negoisasi
2.
Setelah terjadi kesepakatan antara nasabah dengan bank melahkukan akad jual beli
3.
Bank membeli
barang kepada kepada suplier
4.
Suplier mengirim
barang kepada nasabah.
5.
Nasabah
melahkukan pembayaran sesuai dengan harga
yang disepakati ketika akad.
Dalam dunia perbankan ,istilah bai’al murabahah merupakan
perluasan dari pengeluasan dari
pengertian klasik. Istilah murabahah digunakan mengacu
pada suatu kesepakatan pembelian barang oleh bank
sesuai dengan yang dikehendaki nasabah kemudian menjual barang tersebut
kepada nasabah dengan harga yang disepakati dengan memberikan keuntungan
tertentu kepeada bank. Pebayaran dilakukan dalam kurun waktu yang ditentukan
dengan cara cicil. Perjanjian semacam ini disebut bai’ al murabahah li al
amir bi al syira’(jal beli murabahah untuk perintah membeli) atau ilzami al-wa’id
bi al-syiria (keharusan adanya janji untuk membeli).
Pembiayaan Murabahah al dapat dilakukan dengan cara pemesanan dengan cara
janji untuk melakukan pembelian (al-wa’id bi al-syiria).dalam hal ini
,pembeli di bolehkan meminta
pemesanan membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal
pemesanan untuk menjaga agar pemesan tidak main-main dengan pesanan maka diperolehkan
meminta jaminan .di dalam tekinik
operasionalnya ,barang-barang
yang di pesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran utang
.murabahah dengan pemesanan umumnya dapat
dapat diterapkan pada produk pembiayaan
untuk pembelian barang barang investasi, baik domestik maupun luar negri ,seperti melalui letter of credit (L/S) .
misalkan
seorang nasabah mengajkan
pembiayaan kepada bank syariaah
untuk membeli mobil seharga untuk membeli mobil seharga Rp80.0000.00,000 setelah
memenuhi persyaratan ,bank syariah
menyangupi pembiayaan tersebut dalam jangka waktu 1
tahun dan margin keuntungan sebesar 20%.diketahui modal pembeliaan mobil Rp80.0000.00,00 margin 20% maka nilai harga mobil yang akan dijual kepada nasabah adalah :
Untuk Mendapapatkan Nilai Margin di cari dengan
rumus ini :
Jawab :
Harga Jual = 80.000.000 + (80.000.000 X 20% X 1 )
= 80.000.000 + 16.000.000
=
96.000.000
Jadi nilai jual mobil adalah Rp 96.000.000
Sedangkan cicilan akan dibayar nasabah perbulan adalah :
Jawab :
Jadi cicilan
nasabah kepada Bank Syariah adalah 8.000.000 per-Bulan,
2.2
Implementasi Akad
Musawwamah
A.
Definisi Akad Muswwamah
Musawamah adalah jenis
umum dari penjualan di mana harga komoditas yang akan diperjual belikan
ditentukan melalui tawar-menawar antara penjual dan pembeli tanpa mengacu pada
harga yang dibayarkan atau biaya yang dikeluarkan oleh penjual.[3]
Ba’i Musawamah (jual beli
dengan tawar-menawar) yaitu jual beli dimana pihak penjual tidak menyebutkan
harga pokok barang, akan tetapi menetapkan tertentu dan membuka peluang untuk
ditawar.
Jual
beli musawamah adalah jual beli dengan harga yang disepakati kedua belah
pihak, tanpa melihat harga kulakan pembeli. Dalam transaksi ini pembeli bebas
menawar harga barang yang akan dibelinya. Terjadinya jual beli ini sesuai
dengan kesepakatan kedua belah pihak. Jual beli ini merupakan jenis yang umum
dan rutin dalam penjualan dimana harga komoditas yang akan diperdagangkan
tergantung tawar menawar antara penjual dan pembeli.[4]
Tidak
seperti murabahah, penjual pada musawamah tidak berkewajiban
untuk mengungkapkan biayanya. Kedua pihak bernegosiasi pada harga. Musawamah
dapat digunakan dimana penjual tidak dalam posisi untuk memastikan secara tepat
biaya komoditas yang ia menawarkan untuk dijual.
B.
Contoh Akad Muswwamah
Jual
beli dengan cara tawar menawar pada barang untuk menentukan suatu harga, tanpa
menanyakan harga barang tersebut. Hal ini sebagaimana di lakukan oleh
masyarakat ketika transaksi jual beli dipasar.
Contoh:
penjual memaparkan harga barannya atau menawarkan kepada si pembeli harga guci
Rp. 1.500.000,00 kemudian pembeli menawar seharga 1.400.00,00, kemudian penjual
memutuskan menghargainya 1.450.000 dan pembeli menyetujuinya.
Contoh
lain yaitu praktik jual beli saham syariah di IDX (Indonesia Stock Exchange).
Dimulai dari nasabah mendaftarkan diri menjadi nasabah di IDX agar dapat
melakukan transaksi jual beli saham atau Efek di Pasar Bursa. Setelah
pendaftaran menjadi nasabah tersebut lolos dari seleksi yang diberikan oleh
Bursa Efek maka perusahaan tersebut sudah bisa melakukan kegiatan jual beli
saham di Pasar Bursa yang melakukan penawaran di Pasar Reguler. Dan akad yang
digunakan dalam jual beli saham syariah tersebut yaitu dengan menggunakan bai’
al-musawamah yaitu proses tawar menawar yang berkesinambungan dari harga,
barang atau jasa hingga proses transaksinya.
Dari
contoh diatas Al Musawamah yaitu jual beli dimana penjual menawarkan
barang yang dijual dengan harga yang tidak diberitahukan berapa modalnya,
terjadi tawar menawar antara penjual dan pembeli. Jenis inilah yang banyak
terjadi dalam kehidupan sehari-hari, khususnya jual beli antar individu karena
orang cenderung merahasiakan keuntungan, namun berbeda halnya dengan lembaga
keuangan publik seperti bank, sebagai lembaga dia harus transparan dan auditable,
maka murabahah menjadi dominan dalam penyaluran pembiayaan yang
dilakukan bank syariah daripada musawamah.
2.3
Implementasi Akad Ijarah
A.
Definisi Ijarah
Ijarah berasal dari
kata al-iwadh (upah atau ganti). Wahbah al-Zuhaily menjelaskan ijarah
menurut bahasa, yaitu bai’ al-manfaah yang berarti jual beli manfaat.
Ijarah adalah salah satu bentuk aktivitas yang dibutuhkan hidupnya
kecuali melalui sewa-menyewa atau upah-mengupah terlebih dahulu. Transaksi ini
berguna untuk meringankan kesulitan yang dihadapi manusia dan termasuk salah
satu bentuk aplikasi tolong menolong yang dianjurkan agama. Ijarah merupakan
bentuk muamalah yang dibutuhkan manusia. Karena itu, syariat Islam melegalisasi
keberadaannya. Konsep ijarah merupakan manifestasi keluwesan hukum Islam untuk
menghilangkan kesulitan dalam kehidupan manusia.[5]
Manfaat suatu dalam konsep ijarah, mempunyai pengertian yang sangat
luas meliputi imbalan atas manfaat suatu benda atau upah terhadap suatu
pekerjaan tertentu. Jadi, ijarah merupakan transaksi terhadap manfaat suatu
barang dengan suatu imbalan, yang disebut dengan sewa-menyewa. Ijarah juga
mencakup teransaksi terhadap suatu pekerjaan tertentu, yaitu dengan adanya
imbalan yang disebut juga dengan upah-mengupah.
Dilihat dari objek ijarah berupa manfaat suatu benda maupun tenaga
manusia ijarah itu terbagi kepada dua bentuk yaitu:
a.
Ijarah ain, yakni ijarah yang berhubungan dengan penyewaan benda yang
bertujuan untuk mengambil manfaat dari benda tersebut tanpa memindahkan
kepemilikan benda tersebut, baik benda bergerak, seperti menyewa kendaraan
maupun benda tidak bergerak, seperti sewa rumah.
b.
Ijarah amal, yakni ijarah terhadap perbuatan atau tenaga manusia yang
diistilahkan dengan upah-mengupah. Ijarah ini digunakan untuk memperoleh jasa
dari seseorang dengan membayar upah atau jasa dari pekerjaan yang dilakukan.
B.
Implementasi Akad Ijarah
Akad ijarah
diaplikasikan dalam perbankan syariah pada pembiayaan ijarah dan IMBT (al-ijarah
aI-Muntahiyah Bi al-Tamlik). Pembiayaan ijarah diluncurkan berdasarkan
fatwa Dewan Syariah Nasional No. 09/DSN-MUl/lV/2000 tentang pembiayaan ijarah.
Dalam fatwa ini dinyatakan bahwa ijarah merupakan akad pemindahan hak
guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa
(ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Bank
lslam yang mengoperasionalkan produk ijarah dapat melakukan operating lease
maupun financial lease.[6]
Pada umumnya
bank syariah lebih banyak menggunakan lMBT (al-ijarah aI-Muntahiyah Bi
al-Tamlik) karena lebih sederhana dalam pembukuannya. Selain itu, bank
tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset baik pada saat leasing maupun
sesudahnya. Ijarah Muntahiya bi Tamlik (financial leasing with purchase
option) merupakan akad sewa menyewa yang berakhir dengan kepemilikan. Akad
ini merupakan rangkaian dua buah akad yaitu akad ijarah dan akad bai '.
Menurut
Muhammad Usman Syabir al-ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik adalah bank
syariah menyediakan barang yang akan disewakan kepada nasabah sampai waktu
tertentu dengan tambahan ujrah misli (fee) atas dasar nasabah dapat
memiliki barang setelah berakhir waktu sewa dengan akad baru, yakni akad jual
beli. “ Wahbah al-Zuhaili menjelaskan, akad ini dilaksanakan atas dasar dua
akad yang terpisah, yaitu pertama, akad ijarah. akad ini dilaksanakan secara
penuh sesuai dengan ketentuan ijarah. Kedua, setelah ijarah berakhir kemudian
dilakukan akad pemilikan yakni jual beli atau hibah. Artinya dalam akad IMBT
tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang melarang dua jual beli dalam
satu akad jual beli
Sementara itu,
operasional IMBT secara khusus didasarkan pada fatwa DSN No.
27/DSN-MUI/Ill/2002 tentang al-ljarah aI-Muntahiyah bi al-Tamlik. Dalam
pelaksanaan akad IMBT ada ketentuan yang harus dipenuhi yakni ketentuan yang
bersifat umum dan ketentuan bersifat khusus. Ketentuan bersifat umum yaitu:
1)
Rukun
dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula dalam aqad IMBT,
2)
Perjanjian
untuk melakukan akad IMBT harus disepakati ketika akad ijarah ditandatangani.
3)
Hak
dan kewajiban setiap pihak dijelaskan dalam akad
Sedangkan yang bersifat khusus yaitu:
1)
Pihak
yang melakukan IMBT harus melakukan akad ijarah terleblh dahulu. Akad
pemindahan kepemilikan bank dengan jual beli atau hibah hanya dapat dilakukan
setelah masa ijarah selesai.
2)
Janji
pemindahan kepemilikan yang disepakati diawal akad ijarah adalah wa'ad
(janji) yang hukumnya tidak mengikat. Apabila wa'ad ingin dilaksanakan,
maka harus ada akad pemindahan pemindahan yang dilakukan setelah masa ijarah
selesai.
Al-Ijarah
al-Muntahiyah Bi al-Tamlik pada Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) diatur dalam bab kesembilan Pasal 322-329. Rukun
dan syarat dalam ijarah dapat diterapkan dalam pelaksanaan Al-Ijarah
al-Muntahiyah Bi al-Tamlik. Dalam akad ini, perjanjian antara muajtr (pihak
yang menyewakan) dengan musta'jir (pihak penyewa) diakhiri dengan pembelian
ma'jur (objek ijarah) oleh pihak penyewa. Kemudian, Al-Ijarah al-Muntahiyah
Bi al-Tamlik harus dinyatakan secara eksplisit dalam akad. Akad pemindahan
kepemilikan hanya dapat dilakukan setelah masa sewa berakhir.
Karena
aktivitas perbankan umum tidak diperbolehkan melakukan leasing. maka perbankan
syariah hanya mengambil Al-Ijarah al-Muntahiyah Bi al-Tamlik yang
artinya perjanjian untuk sewa-menyewa barang antara bank dengan nasabah di mana
pada akhir masa sewa, nasabah akan memilki barang yang telah disewanya. Barang
yang disewakan kepada nasabah umumnya berjenis aktiva tetap atau fixed
assets, seperti bangunan. Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal
perjanjian. Kepemilikan barang bisa terjadi dengan menghibahkan barang di akhir
periode sewa (IMBT with a promise to hibah) atau dengan menjual barang
pada akhir periode sewa (IMBT with a promise to sell).
Secara
konseptual IMBT hampir sama dengan leasing, bahwa leasing merupakan bentuk
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh
perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala, disertai dengan hak
pilih/opsi bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang modal yang
bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa
yang telah disepakati bersama. Dari aspek pemindahan kepemilikan, dalam leasmg
dikenal dua jenis yaitu operating lease dan financial lease.
Dalam operating lease, tidak terjadi pemindahan kepemilikan aset baik di
awal maupun di akhir periode sewa. Dalam hal ini operating lease sama
seperti ijarah. Ijarah merupakan akad yang mengatur pemanfaatan hak guna
tanpa terjadi pemindahan kepemilikan. Dalam financial lease, di akhir periode
sewa si penyewa diberikan pilihan untuk membeli atau tidak membeli barang yang
disewa. Namun pada praktiknya, dalam financial lease sudah tidak ada opsi lagi
untuk membeli atau tidak membeli, karena pilihan itu sudah ditentukan di awal
periode.
Namun Al-Ijarah
al-Muntahiyah Bi al-Tamlik memiliki perbedaan dengan leasing konvensional.
Seperti tergambar pada tabel di bawah ini:
IMBT
|
Leasing
|
Aset selama
masa sewa adalah milik bank atau muajir
|
Aset langsung
dicatatkan atas nama nasabah
|
Perjanjian
menggunakan akad ijarah dan wa’ad untuk jual beli atau hibah yang akan
ditandatangani setelah ijarah terakhir (jika nasabah menghendaki)
|
Sewa dan jual
beli menjadi suatu kesatuan dalam satu perjanjian
|
perpindahan kepemilikan
menggunakan jual beli hibah.
Perpindaham
kepemilikan dilaksanakan setelah masa ijarah selesai.
|
Perpindshan
kepemilikan menggunakan jual beli.
Perpindahan
kepemilkian diakui setelah seluruh pembayaran pembayaran sewa diselesaiakan,
|
Dalam
pembiayaan ini, nasabah mengajukan permohonan pembiayaan. Kemudian, dia
melakukan akad sewa menyewa dengan bank. Bank menyewakan barang yang dibutuhkan
nasabah dengan cara menyewa dari supplier atau pemilik barang. Setelah itu,
nasabah membayar sewa sesuai dengan kesepakatan. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada skema di bawah ini:
Keterangan:
1)
Nasabah
mengajukan permohonan Ijarah muntahiaya bit Tamlik ke bank syariah
2)
Bank
syariah kemudian menyewa/membeli barang yang dibutuhkan nasabah ke supplier
3)
Antara
nasabah dengan bank syariah melakukan akad ijarah muntahiyah bit tamik
4)
Nasabah
membayar uang sewa kepada bank
5)
Ketika
akad sewa berakhir nasabah mengembalikan barang kepada bank, kemudian melakukan
akad jual beli barang dengan bank
Perhitungan
pembiayaan IMBT dapat djelaskan melalui contoh berikut:
Tuan A menjual
rumah seharga Rp100.000.000. Tuan B ingin membeli rumah tersebut dengan meminta
bantuan bank syariah memberikan pembiayaan. Kemudian, bank syariah menerima permohonan
Tuan B dengan akad IMBT. Kontrak pertama yang dilakukan adalah bank syariah
membeli rumah kepada Tuan A dengan harga Rp100.000.000. Selanjutnya, bank
syariah menyewakan rumahnya kepada Tuan B. Misalkan biaya sewa yang disepakati
adalah sebesar Rp1.000.000 per bulan selama 10 tahun (120 bulan). Tuan B
membayar uang sewa sampai 10 tahun sebesar Rp1.000.000 dikali dengan 120 bulan,
adalah sebesar Rp120.000.000. Di akhir masa sewa, bank syariah menjual rumah
tersebut kepada Tuan B dengan harga Rp10.000.000. Maka kepemilikan rumah
berpindah kepada Tuan B pada saat kontrak perjanjian berakhir.
2.4
Implementasi Akad Mukabarah
A.
Definisi Akad Mukabarah
Menurut istilah, mukhabarah memiliki arti
mengerjakan tanah milik orang lain, baik itu seperti sawah atau ladang dengan
adanya pembagian hasil di antara para pihak (boleh seperdua, sepertiga atau
seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang
mengerjakan (pengelola).
B.
Mekanisme Pembagian
Hasil Dalam Mukhabarah
Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir, bahwasanya
bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara‟ah dengan metode pembagian hasil 1/3: 2/3, 1/4: 3/4, 1/2:
1/2.25
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk hasil panen antara lain, yaitu:
a.
Hasil panen harus diketahui secara jelas di dalam
akad, karena nantinya hasil panen tersebut akan dijadikan upah. Apabila hasil
panen tidak diketahui, hal tersebut dapat merusak akad dan menjadikannya tidak
sah;
b.
Status dari hasil panen adalah milik bersama dari
kedua belah pihak. Tidak boleh ada syarat yang menyatakan bahwa hasil panen
dikhususkan untuk salah satu pihak, karena hal tersebut dapat merusak akad;
c.
Pembagian hasil panen harus ditentukan kadarnya, yaitu
boleh dengan cara setengah/separuh, sepertiga, seperempat atau jumlah lainnya
sesuai dengan kesepakatan. Tidak ditentukannya kadar pembagiannya ini
dikhawatirkan dapat mengakibatkan munculnya perselisihan di kemudian hari;
d.
Pembagian hasil panen harus ditentukan secara umum
dari keseluruhan hasil panen. Maksudnya, jika disyaratkan bagian satu pihak
adalah sekian (dalam jumlah spesifi, misal: empat mudd), maka dianggap
tidak sah. Sebab, bisa saja hasil panen dari tanaman hanya menghasilkan
sebanyak yang ditentukan untuk satu pihak tersebut.
2.5
Implementasi Akad Musyarakah
A.
Definisi Musyarakah
Syirkah memiliki arti الإختلاط
al-ikhtilath (percampuran). Para
ahli fiqih mendefinisikan syirkah adalah akad antara dua orang yang
berserikat dalam modal dan keuntungan.[7]
Sedangkan secara bahasa, Syirkah adalah percampuran salah satu dari
dua harta dengan yang lain tidak membedakan satu sama lain. Syafiiyah
berpendapat Syirkah adalah tetapnya hak atas suatu barang bagi dua orang atau
lebih secara bersama-sama. Ulama Malikiyah mendefinisikan Syirkah dengan izin
untuk bertasharuf bagi kedua orang yang berserikat terhadap harta keduanya
dengan tetapnya hak tasharuf bagi masing-masing keduanya.
Golongan hanafiyah berpendapat Syirkah adalah ungkapan terhadap
akad antara dua orang yang berserikat tentang modal dan laba. Definisi yang
dikemukakan Hanafiyah ini dipandang sebagai definisi yang komplit.
Ketiga definisi di atas, secara hakikatnya sama yang mengacu pada
pengertian bahwa syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam
suatu usaha di mana keduanya sama-sama memasukkan modal dalam usaha tersebut
kemudian, keuntungan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dan kerugian
ditanggung bersama-sama pula.
B.
Implementasi Akad
Musyarakah Pada Perbankan Syariah
Akad
Syirkah pada perbankan syariah diaplikasikan dalam bentuk pembiayaan
al-musyarakah. Ketentuan dasar mengenai sistem pembiayaan musyarakah pada
lembaga keuangan syariah tertuang dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No.08/DSN
MUI/IV/ZOOO. Pembiayaan musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan
Pembiyaan musyarakah
di perbankan syariah bisa di berikan dalam berbagai bentuk, diantaranya:
a.
Musyarakah
permanen (continous musyarakah), dimana pihak bank merupakan
patner tetap dalam suatu proyek atau usaha. Model ini jarang dipraktikan, namun
musyarakah permanen ini merupakan alternatif menarik bagi investasi
surat-surat berharga atau saham, yang dapat dijadikan salah satu portofolio
investasi bank.
b.
digunakan untuk pembiayaan modal kerja
(working capital), di mana bank merupakan partner pada tahap awal dari sebuah
usaha atau proses produksi. Dalam model pembiayaan ini, pihak bank akan“
menyediakan dana untuk membeli aset atau alat-alat produksi, begitu juga dengan
partner musyarakah lainnya. Setelah usaha berjalan dan dapat mendatangkan
profit, porsi kepemilikan bank atas aset dan alat produksi akan berkurang
karena dibeli oleh para partner lainnya, dan pada akhirnya akan menjadi nol,
model pembiayaan ini lebih dikenal dengan istilah deminishing musyarakah, dan
model ini yang banyak diaplikasikan dalam perbankan syariah.
c.
musyarakah digunakan untuk pembiayaan
jangka pendek. Musyarakah jenis ini bisa diaplikasikan dalam bentuk project
finance atau pembiayaan perdagangan, seperti ekspor, impor, penyediaan bahan
mentah atau keperluan-keperluan khusus nasabah lainnya.
Bentuk
kedua dari pembiayaan musyarakah ini dikenal dengan musyarakah mutanaqishah
sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 73/ DSN-MUI/XI/ 2008 tentang
Musyarakah Mutanaqishah. Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan musyarakah
mutanaqishah adalah musyarahah atau syirkah yang kepemilikan asset (barang)
atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara
bertahap oleh pihak lainnya.
Musyarakah
mutanaqishah (diminishing partnership) adalah bentuk kerja sama antara dua
pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu barang atau aset. Musyarakah
mutanaqishah ini dibenarkan dalam syariah, karena -sebagaimana ijarah
muntahiyah bi-al-tamlikbersandar pada janji dari bank kepada mitra (nasabah)
-nya bahwa bank akan menjual kepada mitra porsi kepemilikannya dalam syirkah
apabila mitra telah membayar kepada bank harga porsi bank tersebut.
Di
saat berlangsung, musyarakah mutanaqishah tersebut dipandang sebagai Syirkah
‘inan, karena kedua belah pihak menyerahkan kontribusi ra’sul mal, bank
mendelegasikan kepada nasabah-mitranya untuk mengelola kegiatan usaha. Setelah
selesai syirkah bank menjual seluruh atau sebagian porsinya kepada mitra,
dengan ketentuan akad penjualan ini dilakukan secara terpisah yang tidak
terkait dengan akad syirkah .
Akad musyarakah mutanaqishah terdiri dari
akad musyarakah/syirkah dag bai’ (jual-beli). Dalam akad musyarakah
mutanaqiShah, Pihak pertama (syarik) Wajib berjanji untuk menjual seluruh
hishshah-nya secara bertahap dan pihak kedua (syarik) wajib membelinya. Jual
beli dilaksanakan sesuai kesepakatan‘ Setelah selesai pelunasan penjualan,
seluruh hishshah LKS beralih kepadq syarik lainnya (nasabah).
Di
dalam musyarakah mutanaqishah atau dikenal juga dengan istilah aL musyarakah
al-muntahiyah bi al-tamlik terdapat unsur kerja sama (syirkah) dan unsur sewa
(ijarath). Kerja sama dilakukan dalam hal penyertaan
modal atau dana dan kerja sama kepemilikan. Sementara sewa merupakan kompensasi
yang diberikan salah satu pihak kepada pihak lain.
Nasabah akan membayar (mengangsur) sejumlah
modal/dana yang dimiliki oleh bank syariah. Perpindahan kepemilikan dari porsi
bank syariah kepada nasabah seiring dengan bertambahnya jumlah modal nasabah
dari pertambahan angsuran yang dilakukan nasabah. Hingga angsuran berakhir
berarti kepemilikan suatu barang atau benda tersebut sepenuhnya menjadi milik
nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank syariah terhadap barang atau benda berkurang
secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran. Selain sejumlah angsuran
yang harus dilakukan nasabah untuk mengambil alih kepemilikan, nasabah harus
membayar sejumlah sewa kepada bank syariah hingga berakhirnya batas kepemilikan
bank syariah. Pembayaran sewa dilakukan bersamaan dengan pembayaran angsuran.
Pembayaran angsuran merupakan bentuk pengambilalihan porsi kepemilikan bank
syariah. Sedangkan pembayaran sewa adalah bentuk keuntungan (fee) bagi bank
syariah atas kepemilikannya terhadap aset tersebut. Pembayaran sewa merupakan
bentuk kompensasi kepemilikan dan kompensasi jasa bank syariah.
Dalam syirkah mutanaqishah jumlah angsuran
dan jumlah sewa yang haruS dibayar nasabah harus jelas di awal akad. Besar
kecilnya harga sewa dapaf berubah sesuai kesepakatan. Dalam kurun waktu
tertentu besar-kecilnya sewa dapat dilakukan kesepakatan ulang. Namun, dalam
realitanya, naik turunnya jumlah sewa ini diberlakukan secara sepihak oleh bank
syariah. Mekanisme
Akad
musyarakah mutanaqishah terdiri dari akad musyarakah/syirkah dag bai’
(jual-beli). Dalam akad musyarakah mutanaqiShah, Pihak pertama (syarik) Wajib
berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya secara bertahap dan pihak kedua
(syarik) wajib membelinya. Jual beli dilaksanakan sesuai kesepakatan‘ Setelah
selesai pelunasan penjualan, seluruh hishshah LKS beralih kepadq syarik lainnya
(nasabah).
Di
dalam musyarakah mutanaqishah atau dikenal juga dengan istilah aL musyarakah
al-muntahiyah bi al-tamlik terdapat unsur kerja sama (syirkah) dan unsur sewa
(ijarath). Kerja sama dilakukan dalam hal penyertaan modal atau dana dan kerja
sama kepemilikan. Sementara sewa merupakan kompensasi yang diberikan salah satu
pihak kepada pihak lain.
Nasabah
akan membayar (mengangsur) sejumlah modal/dana yang dimiliki oleh bank syariah.
Perpindahan kepemilikan dari porsi bank syariah kepada nasabah seiring dengan
bertambahnya jumlah modal nasabah dari pertambahan angsuran yang dilakukan
nasabah. Hingga angsuran berakhir berarti kepemilikan suatu barang atau benda
tersebut sepenuhnya menjadi milik nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank
syariah terhadap barang atau benda berkurang secara proporsional sesuai dengan
besarnya angsuran. Selain sejumlah angsuran yang harus dilakukan nasabah untuk
mengambil alih kepemilikan, nasabah harus membayar sejumlah sewa kepada bank
syariah hingga berakhirnya batas kepemilikan bank syariah. Pembayaran sewa
dilakukan bersamaan dengan pembayaran angsuran. Pembayaran angsuran merupakan
bentuk pengambilalihan porsi kepemilikan bank syariah. Sedangkan pembayaran
sewa adalah bentuk keuntungan (fee) bagi bank syariah atas kepemilikannya
terhadap aset tersebut. Pembayaran sewa merupakan bentuk kompensasi kepemilikan
dan kompensasi jasa bank syariah.
Dalam
syirkah mutanaqishah jumlah angsuran dan jumlah sewa yang haruS dibayar nasabah
harus jelas di awal akad. Besar kecilnya harga sewa dapaf berubah sesuai
kesepakatan. Dalam kurun waktu tertentu besar-kecilnya sewa dapat dilakukan
kesepakatan ulang. Namun, dalam realitanya, naik turunnya jumlah sewa ini
diberlakukan secara sepihak oleh bank syariah. Mekanisme seperti ini seakan
sama dengan mekanisme yang ada di bank konvensional. Bunga bisa naik turun
sesuai dengan perkembangan suku bunga.
Dalam
mekanismenya, nasabah datang kepada bank syariah dengan membawa surat
permohonan musyarakah dengan menjelaskan kebutuhan dan kegunaan dana. Nasabah
menjelaskan proyek atau usaha yang akan dikerjakan, pihak-pihak yang terlibat
dalam usaha, dan tujuan proyek atau usaha yang akan dilakukan. Setelah melalui
proses dan prosedur pembiayaan, nasabah bersedia mendanai proyek tersebut
sebagian sedangkan bank menyediakan dana pembiayaan sebagian lagi. Kemudian,
keuntungan dibagi berdasarkan porsi penyertaan dana sesuai dengan kesepakatan.
Mengenai
bagi hasil, ada dua metode yang dapat digunakan, yaitu profit sharing dan
revenue sharing. Jika menggunakan metode profit sharing, maka yang dibagi
antara bank dengan nasabah pembiayaan adalah pendapatan setelah dikurangi
biaya-biaya. Sementara itu, metode revenue sharing, berarti yang dibagi antara
bank dan nasabah pembiayaan adalah pendapatan tanpa dikurangi dengan
biaya-biaya. Pada saat ini, metode yang dipakai dalam praktik perbankan syariah
adalah metode revenue sharing.
Secara
umum, aplikasi pembiayaan al-musyarakah dapat digambarkan pada skema di bawah
ini:
Dalam
realitanya pada pembiayaan musyarakah, bank syariah sudah mcnetapkan proyeksi
keuntungan yang akan diperoleh dari usaha Yang dibiayai ketika akad. Jadi pembiayaan musyarakah diterapkan sama dengan pembiayaan murabahah
yang bersifat Natural Certainty Contracts (NCC), Yaknj kontak bisnis yang
menjanjikan kepastian pendapatan. Padahal pembiayaan musyarakah merupakan
pembiayaan Natural Uncertainty Contracts (N UC) yaknj kontrak bisnis yang tidak
memberikan kepastian pendapatan.
Misalnya bank syariah sepakat untuk
membiayai proyek sebuah Pr X selama 3 bulan, Total nilai proyek
Rp940.991.000,00. Modal bank yang dibutuhkan untuk proyek tersebut adalah
Rp150.000.000,00. PPN 10% dari nilai proyek adalah Rp94.099.100,00. Nisbah yang
disepakati antara bank syan'ah dengan PT X adalah 40%; 60% (40% untuk bank
syariah dan 60% untuk PT X) Keuntungan PT X dari total proyek ini diprediksikan
sebesar 10% setelah pajak, yaitu Rp84.689.190,00. ~ Perhitungan bagi basil
untuk bank syariah adalah Rp84.689.190,00 X 40% = Rp33.875.676,00 Perhitungan
bagi basil untuk PT X adalah: Rp84.689.l90,00 X 60% = Rp50.8l3.5]4,00 Mekam'sme
pembayaran angsuran pembiayaan musyarakah pada bank syan'ah ada dua, yaitu: a.
Pokok + bagi basil yang dibayar setiap bulan setelah pembiayaan dicairkan b.
Pokok saja dibayar setiap bulan, sedangkan bagi hasilnya dibayax setelah masa
kontrak pembiayaan selesai.
Walaupun PT X memperoleh keuntungan yang
lebih besar dari proyeksi keuntungan ataupun
mendapatkan keuntungan yang rendah atau bahkan rugi, nasabah akan tetap membayar keuntungan kepada bank dengan jumlah keuntungan yang diproyeksi di awal akad.
BAB 3
Penutup
3.1
Kesimpulan
Dalam pandangan konvensional lemaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaan utamanya terbentuk pada aset keuangan,memerikan kredit dan
menambahkanya dalam bidang
berharga dan menawarkan jasa keuangan
lain pada simpanan,asuransi,investasi
dan lainya
Dalam uraian diatas,maka dapat disimpulkanan lembaga
keuangan syariah adalah sebuah lembaga yang memiliki
spirint islam baik
dalam pelayanaan maupun
produk-produk.Dalam hal ini dapat hal ini
dapat diterapkan pada akad
murabahah,ijarah ,murabahah,sehingga dalam penerapanya yang dilahkukan
pada implementasi akad-akad
tersebut dalam keuangan
islam akan membentuk tuntutan
kehidupan sekaligus anjuran yang
memilki dimensi ibadah yang diterapkan dalam etika dan moral etika islam.
Daftar
Pustaka
Rozalinda. 2016. Fikih Ekonomi Syariah. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Nurul,
syarifah Faridah.Implementasi akad Mukabarah pada pemgelolaan
perkebunannkopi di kalangan mastrakat kecamatan ketapang kabupaten Aceh
Tengah,2017. Aceh” Uin Islam Negri
Ar-Raniry
http://kamusbisnis.com/arti/musawamah/ diakses pada tanggal 1 Oktober 2018, pukul 10.15
http://pengusahamuslim.com/2804-jual-beli-amanah-1491.html dikses pada tanggal 1 Oktober 2018, pukul 12.01
[1]Rozalinda.
2016. Fikih Ekonomi Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Halm 53
[2][2] Rozalinda.
2016. Fikih Ekonomi Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Hal 88
[4]
http://pengusahamuslim.com/2804-jual-beli-amanah-1491.html
dikses pada tanggal 1 Oktober 2018, pukul 12.01
[7]
Sayyid Sabiq (eds), dalam AAM Ghofar, hlm. 20
Komentar
Posting Komentar