MAKALAH
PEMBIAYAAN PUBLIK PEMERINTAH DALAM ISLAM
Disusun Guna Memenuhi
Tugas Kelompok Mata Kuliah Kebijakan
Fiskal Islam
Dosen Pengampu: Lutfi
Nurfita, S.E.sy, M.E.
DISUSUN
OLEH:
Kelompok
3:
Nurhidayati (63020160007)
Wulan
Octaviani (63020160010)
Laili
Irawati (63020160138)
Muhamad
Abdul Faza (63020160149)
PROGRAM STUDI EKONOMI
SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN
BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SALATIGA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini. Shalawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Tidak lupa penulis sampaikan
terimakasih kepada:
1.
Lutfi Nurfita, S.E.sy, M.E.,
selaku dosen pengampu mata kuliah
kebijakan fiscal islam.
2.
Semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Selanjutnya demi kesempurnaan penulis dalam menyelesaikan makalah
berikutnya, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
sehingga dapat menyelesaikan dengan baik dan sempurna.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan bagi semua
pihak sehingga dapat memetik isi yang terkandung di dalamnya.
Salatiga, 17 September 2019
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Berbicara tentang
keuangan public islam, berarti juga membicarakan mengenai kepentingan
masyarakat secara keseluruhan. Adanya masyarakat tidak terlepas dari peranan
pemerintah dan masyarakat itu sendiri yang bersinergi untuk mengatur sistem
kehidupannya. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan suatu prinsip yang menjadi
pijakan atas pelaksanaan keuangan public berdasarkan nilai-nilai
islam.
Prinsi yang dilaksanakan
tersebut harus desesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dalam agama islam
yaitu untuk merealisasikan
adanya falah.
Rasulullah SAW membangun Negara yang
berlandaskan nilai-nilai islam pertama kali di Madinah yang dikenal dengan nama
Negara Madinah. Negara ini dibangun berdasarkan semangat keislaman yang
tercermin dari al-qur’an dan kepemimpinan Rasulullah SAW. Seluruh aspek
kehidupann masyarakat disusun berlandaskan nilai-nilai qur’ani seperti
persaudaraan, persamaan, kebebasan dan keadilan. Sistem keuangan Negara
pun dibangun setelah melakukan berbagai upaya
stabilisasi dibidang sosial, politik serta pertahanan keamanan Negara.[1]
Dewasa ini,
seiring dengan perkembangan zaman, maka sistem keuangan islam mengalami
pembaharuan. Walaupun demikian, mekanisme teknis pengelolaan keuangan publik
islam tersebut yang dibangun
harus menanamkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan tujuan-tujuan islam baik
dari segi penerimaan maupun pengeluarannya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa Definisi Pembiayaan Publik?
2.
Bagaimana Pembiayaan Publik Dalam Islam?
3.
Bagaimana Instrumen Pembiayaan Publik Islam?
4.
Apa Fungsi Dan Tujuan Pengelolaam Keuangan Publik?
5.
Bagaimana Prinsip Penerimaan Keuangan Publik?
1.3 Tujuan
1.
Untu Mengetahui Definisi Pembiayaan Publik?
2.
Untu Mengetahui Pembiayaan Publik Dalam Islam?
3.
Untu Mengetahui Instrumen Pembiayaan Publik Islam?
4.
Untu Mengetahui Fungsi Dan Tujuan Pengelolaam Keuangan Publik?
5.
Untu Mengetahui Prinsip Penerimaan Keuangan Publik?
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Definisi
Pembiayaan Publik
Menurut Richard A. Musgrave, keuangan publik (public
finance) merupakan ilmu yang memperlajari tentang aktivitas-aktivitas
ekonomi pemerintah sebagai unit. Adapun dalam pandangan Carl C. Plehm, keuangan
publik merupakan ilmu yang memperlajari tentang penggunaan dana-dana oleh
pemerintah untuk memenuhi pembayaran kegiatan pemerintah. Karena itu, definisi
di atas menjadikan istilah keuangan publik identik dengan istilah keuangan
negara, ekonomi publik, dan ekonomi sektor publik.[2]
Istilah
public finance untuk kajian ekonomi di Indonesia biasanya menggunakan
istilah ilmu keuangan negara. Dalam pandangan Soetrisno PH, ilmu keuangan
menggunakan istilah ilmu keuangan negara adalah ilmu yang mempelajari atau
menela’ah tentang pengeluaran dan penerimaan yang dilakukan oleh pemerintah dan
negara. Sedangkan dalam pandangan M. Suparmoko, ilmu keuangan negara adalah
bagian dari ilmu ekonomi yang mempelakjari tentang kegiatan-kegiatan pemerintah
dalam bidang ekonomi trutama mengenai penerimaan dan pengeluarannya beserta
dengan pengaruh-pengaruhnya di dalam perekonomian tersebut.[3]
Berdasarkan
uraian tersebut, ruang lingkup pembahasan keuangan publik meliputi:
a. Permasalahan dan keterbatasan keuangan
pemerintahan.
b. Mekanisme pengelolaan pemasukan dan pengeluaran
negara(APBN) untuk kesejahteraan masyarakat.
c. Dampak dan evaluasi pengelolaan keuangan
tersebut.
d.
Kebijakan
pemerintah (fiskal) dalam situasi tertentu yang terkait dengan keuangan negara.
Ruang
lingkup Keuangan Publik dapat digambarkan dalam bagan berikut ini : [4]
Pembahasan keuangan publik menurut bagan
diatas, diawali dari alasan-alasan intervensi yang muncul dan mengharuskan
pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Keuangan publik juga mencoba
untuk menawarkan pilihan publik yang akan mempengaruhi pengambilan kebijakan
publik nantinya, meliputi institusi publik, keseimbangan politik dan pemilu.
Dari permasalahan tersebut, maka pembahasan akan mencakup sumber pendapatan
negara yang meliputi pajak, non pajak, dan hutang. Hal ini berkaitan dengan
alokasi yang adil untuk kesejahteraan sehingga perlu dianalisis pendapatan tersebut.
Pendapatan tersebut kemudian dibelanjakan dalam pendidikan, kesehatan, sosial,
pertahanan, dan lain-lain.
Samuelson
menjelaskan bahwa pemerintah telah memainkan peranan yang semakin meningkat
dalam sistem ekonomi campuran modern. Hal ini tercermin dalam pertumbuhan
pengeluaran pemerintah, pemerataan pendapatan oleh negara, dan pengaturan
langsung dari kehidupan ekonomi. Sedangkan perubahan fungsi-fungsi pemerintah
tercermin dalam kegiatan pemerintah meliputi pengawasan langsung, konsumsi
sosial dari barang publik, stabilitas kebijakan keuangan negara dan moneter,
produksi pemerintah, dan pengeluaran kesejahteraan.[5]
2.2
Pembiayaan
Publik Dalam Islam
Keuangan publik
dalam konteks syari’ah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
manusia dalam bermu’amalah, khususnya dalam relasi negara-rakyat. Dalam arti,
hubungan manusia dengan manusia yang lain memiliki ruang yang bebas, namun
hubungan ini memiliki nilai transenden sebagai bentuk kegiatan ekonomi yang
kelak akan dipertanggungjawabkan kepda Allah. Jadi, kebebasan manusia, realitas
ekonomi, dan akuntabilitas kepada Allah menjadi kerangka kerja bagi para pelaku
ekonomi, termasuk penguasa, sehingga kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak
dapat dilepaskan dari bagaimana niat-amal (aksi)-tujuan bisnis. Realitas inilah
yang mendasari aktivitas ekonomi harus dikonsepsikan dari epistemologi
tauhidi.[6]Keuangan
publik yang dipraktekkan pada masa Islam awal memiliki basis yang jelas pada
filsafat etika dan sosial Islam yang menyeluruh. Keuangan publik bukan sekedar
proses keuangan di tangan penguasa saja. Akan tetapi sebaliknya, ia didasarkan
pada petunjuk syara’.[7]
Dalam islam,
kebijakan fiskal merupakan suatu kewajiban negara dan menjadi hak rakyat,
sehingga kebijakan fiskal bukanlah semata-mata sebagai suatu kebutuhan untuk
perbaikan ekonomi maupun untuk peningkatan kesejahteraan rakyat saja, akan
tetapi lebih pada penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil. Karena
hakikat permasalahan ekonomi yang melanda umat manusia adalah berasal dari
bagaimana distribusi harta di tengah-tengah masyarakat terjadi. Jadi uang
publik dipandang sebagai amanah di tangan penguasa dan harus diarahkan
pertama-tama pada lapisan masyarakat yang lemah dan orang-orang miskin,
sehingga tercipta keamanan masyarakat dan kesejahteraan umum.[8]
2.3 Instrumen
Pembiayaan Publik Islam
Berbagai
instrument yang bisa digunakan sebagai pembiayaan Negara pada dasarnyadapat
dikembangkan, Karena pada hakikatnya hal ini merupakan aspek muamalah, kecuali
dalam hal zakat. Artinya selama ada proses penggalian sumber daya tidak
terdapat pelanggaran syariah islam, maka selama itu pula diperkenankan menurut
islam. Oleh karena itu terdapat beberapa instrument yang bisa digunakan sebagai
instrument pembiayaan publik, yaitu sebagai berikut:[9]
1.
Zakat
Pengeluaran/ pembayaran zakat di dalam Islam mulai
efektif dilaksanakan sejak hijrah dan terbentuknya negara Islam di madinah.
Orang-orang yang beriman dianjurkan untuk membayar sejumlah tertentu dari
hartanya, dalam bentuk zakat. Pembayaran zakat merupakan kewajiban agama dan
merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Kewajiban itu berlaku bagi setiap
muslim yang telah dewasa, merdeka, berakal sehat, dan telah memiliki harta itu
setahun penuh dan memenuhi nushab. Zakat
dikenakan atas harta kekayaan berupa emas, perak, barang dagangan binatang
ternak, dan lain-lain.
Zakat merupakan sumber pertama dan terpenting dari
penerimaan Negara, pada awal pemerintahan islam. Sumber penerimaan lain,
sebagaimana yang akan diuraikan pada bagian setelah ini. Perlu dicatat bahwa zakat bukanlah merupakan sumber
penerimaan biasa bagi Negara-negara di dunia, karena itu juga tidak dianggap
sebagai sumber pembiayaan utama. Dengan demikian Negara bertanggung jawab dalam
penghimpunan dan menggunakannya secara layak, dan penghasilan dari zakat tidak
boleh dicampur dengan penerimaan publik lainnya.
2.
Aset dan Pembiayaan Negara
Disamping Negara mendapatkan penerimaan berupa zakat,
yang bisa dibayarkan dalam bentuk barang ataupun uang, Negara Islam mempunyai sumber pendanaan Negara dalam bentuk
barang, yaitu ghanimah dan fa’i. kedua harta ini diperoleh dari masyarakat non-muslim, baik
melalui perang maupun melalui jalan damai. Meskipun demikian harta ghanimah
buukanlah merupakan tujuan utama peperangan.
Dalam konteks kehidupan modern ini, dimana peperangan
fisik sudah tidak lagi dilakukan atau para pasukan merupakan pasukan
professional yang digaji , maka ghanimah tidak dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan. Pemerintah hanya
mengambil 20% dari ghanimah untuk pengentasan kemiskinan. Sedangkan fa’I
dikeluarkan untuk memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat umum. Alokasi darii pembagiannya berbeda-beda dari
satu pemerintah kepada yang lainnya, tergantung pada kebijaksanaan
masing-masing kepala Negara
dan lembaga musyawarah yang dipimpinnya.
3.
Kharaj
Kharaj biasanya disebut pajak tanah. Dalam
pelaksanaannya kharaj dibedakan menjadi dua, yaitu proporsional dan
tetap. Secara proporsional
artinya dikenakan sebagai bagian total dari hasil produksi pertanian, misalnya,
sepermpat, seperlima dan sebagainya.
Secara tetap artinya pajak tetap atas tanah. Dengan kata lain kharaj proporsional
adalah tidak tetap tergantung pada hasil dan harga setiap jenis hasil
pertanian. Sedangkan kharaj tetap dikenakan pada setahun sekali.
Kharaj diperkenalkan pertama kali setelah perang
khaibar, ketika Rosulullah SAW membolehkan orang-orang Yahudi Khaibar kembali
ke tanah milik mereka
dengan syarat mau membayar separuh dari hasil panennya kepada pemerintah islam,
yang disebut Kharaj.
Didalam hukum islam kharaj dikenakan atas seluruh
tanah didaerah yang ditahlukkan dan tidak dibagikan kepada anggota pasukan
perang, oleh Negara dibiarkan dimiliki oleh pemilik awal, atau
dialokasikan kepada
petani non-muslim dari mana
saja. Selama masa pemerintahan islam, kharaj menjadi sumber penerimaan utama dari Negara
islam, dana itu dikuasai oleh komunias dan bukan kelompok-kelompok tertentu.
4.
Jizyah
Salah satu ciri khas masyarakat muslim adalah menjaga
saudaranya muslim dan non-muslim dari rasa aman. Oleh karena itu, pada masa
Rosulullah, orang-orang Kristen dan Yahudi, dikecualikan dari kewajiban menjadi
anggota militer islam. Mereka memperbolehkan konsesi bahwa Negara islam akan
menjamin keamanan pribadi dan hak milik mereka. Sebagai gantinya maka
orang-orang n0n-muslim diwajibkan mengganti dengan membayar jizyah.
Meskipuun jizyah merupakan hal wajib, namun dalam
ajaran islam ada ketentuan, yaitu bahwa jizyah dikenakan kepada seluruh
non-muslim dewasa, laki-laki dan yang mampu membayarnya. Sedangkan bagi
perempuan, anak-anak, orang tua dan pendeta dikecualikan sebagai kelompok yang
tidak wajib ikut bertempur. Orang-orang miskin, pengangguran, pengemis, tidak
dikenakan pajak. Jumlah jizyah yang harus dibayar bervariasi antara 12 sampai
48 dirham setahun, sesuai dengan kondisi keuangan mereka. Jika seseorang
memeluk agama islam, maka kewajiban membayar jizyah gugur.
5.
Wakaf
Dalam hukum islam, waqaf berarti menyerahkan suatu hak
milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nadzir baik berupa perorangan, maupun lembaga, dengan ketentuan
bahwa hasilnya digunakan sesuai dengan syariat islam. Harta yang telah
diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan, bukan pula hak milik nadzir, tetapi menjadi hak milik Allah
yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. filsafat yang
terkandung dalam amalan wakaf menghendaki agar harta wakaf itu tidak boleh
hanya dipendam tanpa hasil yang dapat dinikmati oleh Mauquf’alaih. Semakin banyak hasil harta wakaf yang dapat dinikmati
oleh yang berhak, maka semakin besar pula pahala yang akan mengalir kepada
wakif.
2.4 Fungsi dan Tujuan Pengelolaan Keuangan Publik Islam
Pengertian pengawasan dan pengaturan
harta negara dalam Islam memang memliki kesamaan dengan pengertian yang dibuat
oleh para ekonom modern, namun tidak berarti memiliki kesamaan dalam semua
tujuan dan cara. Karena pengawasan dan pengaturan harta dalam Islam mempunyai
kelebihan dengan dasar-dasar aqidah dan akhlak yang bersumber dari Al-Quran dan
Hadis. Karena itu ia mempunyai tujuan-tujuan dan cara yang tidak ada dalam
sistem lain. M.A Abdul Manan didalam bukunya yang berjudul Ekonomi Islam Teori
dan Praktek. Beliau menandaskan bahwa dari semua kitab agama masa dahulu,
Al-Quranlah satu-satunya kitab yang meletakkan perintah yang tepat tentang
kebijakan negara mengenai pendapatan dan pengeluaran atau yang lebih dikenal
dengan kebijakan fiskal. Menurutnya
pula kebijakan fiskal dalam suatu negara harus sepenuhnya sesuai
dengan prinsip hukum dan
nilai-nilai Islam. Prinsip Islam tentang kebijakan fiskal atau anggaran
pendapatan dan belanja bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang
didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai
material dan spiritual pada tingkat yang sama.[10]
Tujuan kebijakan fiskal dalam
ekonomi Islam berbeda dari ekonomi konvensional, namun ada kesamaan yaitu dari
segi sama-sama menganalisis dan membuat kebijakan ekonomi. Tujuan dari semua
aktivitas ekonomi – bagi semua manusia – adalah untuk memaksimumkan
kesejahteraan hidup manusia, dan kebijakan publik adalah suatu alat untuk
mencapai tujuan tersebut. Pada sistem
konvensional, konsep kesejahteraan hidup adalah untuk mendapatkan keuntungan
maksimum bagi individu di dunia ini. Namun dalam Islam, konsep kesejahteraannya
sangat luas, meliputi kehidupan di dunia dan di akhirat serta peningkatan
spiritual lebih ditekankan daripada pemilikan
material. Kebijakan fiskal dalam ekonomi kapitalis bertujuan untuk :
(1)
Pengalokasian
sumber daya secara efisien
(2)
Pencapaian stabilitas ekonomi
(3)
Mendorong pertumbuhan ekonomi
(4)
Pencapaian
distribusi pendapatan yang sesuai.
Kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam
akan dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang sama sebagaimana dalam ekonomi
non-Islam, ditambah dengan tujuan lain yang terkandung dalam aturan (doktrin)
Islam. Ada
tiga tujuan yang dikenal dalam Islam:
(1)
Islam
menetapkan tingkatan yang mulia (tinggi) terwujudnya persamaan dan demokrasi,
diantara prinsip-prinsip dan hukum yang lain, prinsip ,mendasar adalah “Agar kekayaan (harta) itu tidak hanya
beredar diantara segelintir orang kaya saja” (QS. 59:7). Hal ini mengambil
tindakan bahwa ekonomi Islam harus lebih berperan dalam setiap anggota masyarakat.
(2)
Islam
melarang pembayaran bunga atas segala bentuk pinjaman. Hal ini menunjukkan
bahwa ekonomi Islam tidak akan menggunakan perangkat bunga dalam tujuan
mencapai tingkat keseimbangan pada pasar uang (keseimbangan antara permintaan
dan penawaran uang).
(3)
Ekonomi Islam
akan dikelola untuk membantu dan mendukung ekonomi masyarakat yang terbelakang
dan untuk memajukan dan menyebarkan ajaran Islam seluas mungkin. Dengan
demikian sebagian dari pengeluaran pemerintah
akan diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan yang sesuai syariah.[11]
2.5
Prinsip Penerimaan Keuangan
Publik Islam
Dari
tinjauan sejarah mengenai
penerimaan publik Islam
dapat ditunjukkan
bervariasinya bentuk-bentuk sumber
pendanaan publik, baik
yang sudah ditentukan oleh pemerintah saati itu seperti
kharaj, khums, jizyah dan sebagainya.
Dari berbagai bentuk instrumen penerimaan
publik tersebut, maka
dapat dianalisa secara
ekonomi prinsip dasar pemungutan
dana publik pada
awal Islam tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut ini[12] :
No
|
Sumber
Penerimaan
|
Karkateristik
Utama
|
1
|
Zakat
|
a. Merupakan kewajiban langsung dari Allah
(Al-Qur’an)
b. Pembayar zakat adalah khusus individu muslim, mampu
secara material dan melebihi satu nisab.
c. Dibebankan atas stok kekayaan atau keuntungan, bukan
atas modal kerja.
d. Tingginya tarif zakat
dipengaruhi oleh semakin
tingginya peran pengelolaan manusia terhadap alam, maka
semakin kecil tarif zakatnya dan tingginya tarif adalah proporsional.
e. Dipungut
secara berkala sesuai masa perolehan .
|
2
|
Ushr
|
a. Merupakan kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah
kepada pedagang yang ditujukan untuk meningkatkan
perdagangan.
b. Pembayaran ushr adalah
perdagangan muslim dan non muslim.
c. Dibebankan
atas volume perdagangan.
d. Besarnya tarif dipengaruhi oleh tarif yang dipungut oleh
partner dagang, kemampuan bayar (tidak bagi pedagang kecil, 200 dirham),
besarnya jasa yang diberikan pemerintah (tarif dzimmi lebih besar karena butuh
jaminan keamanan lebih tinggi).
e. Temporer, ketika terjadi perdagangan yang tidak fair (tarif dikurangi untuk meningkatkan perdagangan yang
fair).
|
3
|
Kharaj
|
a.
Merupakan
kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah sebagai
pengguna lahan negara atau tanah fai’.
b.
Tingginya tarif
tergantung pada semakin tingginya kondisi: kualitas tanah dan jenis tanah
yang lebih bail, metode produksi/peran SDM lebih rendah, nilai hasil produksi
(max 50%).
c.
Dipungut secara
permanen berkala.
|
4
|
Jizyah
|
a. Merupakan kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah
sebagai kompensasi atas perlindungan jiwa, property, ibadah dan tanggung
jawab militer.
b. Dipungut dari non muslim dzimmi yang tinggal di negara
Islam.
c. Tingginya tarif dipengaruhi oleh kemampuan material
membayar jizyah, bisa dibayar individual atau kolektif.
d.
Dipungut
permanen, kecuali jika dzimmi berpindah ke agama Islam, maka terkena kewajiban sebagai Muslim.
|
5
|
Ghanimah
|
a. Merupakan harta yang diperoleh secara paksa melalui
perang.
b.
Ditujukan terutama untuk pembiayaan perang dan kesejahteraan tentara
(80%)
c.
Sebagian 20% dialokasikan
untuk sabilillah, sebagaimana tarif
zakat yang dikenakan atas harta temuan rikaz.
|
6
|
Fai’
|
a. Merupakan harta yang diperoleh dari non muslim secara
damai atau non perang
b.
Prinsipnya
adalah pemanfaatan harta yang menganggur.
c. Dimiliki oleh pemilik asal jika ia masih hidup atau
masuk dalam keadaam Islam, dan menjadi milik negara jika pemilik asal
meninggal atau tetap non muslim.
d.
Beberapa
pendapatan bisa dikategorikan sebagai fai’, seperti jizyah, upeti, bea cukai, denda kharaj, amwal
fadhila, dan sebagainya.
|
7
|
Amwal Fadhila
|
a.
Merupakan harta
yang diperoleh karena tidak ada yang memiliki
baik karena ditinggalkan pemiliknya atau tanpa
|
Dari uraian tersebut dapat ditarik
kesimpulan mengenai prinsip-prinsip yang diterapkan dalam penerimaan publik
Islam yaitu[13] :
1. Sistem pungutan
wajib (dharibah) harus menjamin bahwa
hanya golongan kaya dan memiliki kelebihanlah yang memikul beban utama dharibah.
2. Berbagai pungutan
dharibah tidak dipungut atas dasar besarnya
input/sumberdaya yang digunakan, melainakn
atas hasil usaha ataupun tabungan
yang terkumpul.
3. Islam tidak mengarahkan pemerintah mengambil sebagian harta milik masyarakat secara paksa, meskipun kepada
orang kaya. Sesulit apapun kehidupan Rasulullah
Saw di Madinah, beliau tidak
pernah menentukan tinggnya
tarif pajak.
4. Islam memperlakukan
kaum Muslimin dan Non Muslimin secara adil, pungutan dikenakan proporsional
terhadap manfaat yang diterima pembayar.
5. Islam telah
menentukan sektor-sektor penerimaan negara menjadi empat jenis:
a. Zakat, yaitu
pungutan wajib atas Muslim yang ketentuannya sudah diatur oleh Allah. Pemerintah tidak memiliki hak
untuk mengubah hal itu semua, tetapi dapat mengadakan perubahan
dalam struktur harta
yang wajib dizakati
dengan berpegang pada nash-nash umum
yang ada dan pemahaman terhadap realita modern.
b. Asset dan kekayaan non keuangan, yang diperoleh dari ghanimah,
fai’ ataupun amwal fadhila. Asset ini memungkinkan
negara untuk memiliki perusahaan dan menciptakan penerimaan sendiri dengan
mengelola sumber daya yang dikuasakan kepada
pemerintah.
c. Dharibah, yaitu
pungutan wajib yang nilainya ditentukan oleh
pemerintah.
Dharibah
meliputi jizyah, kharaj, ushr, nawaib dan sebagainya.
d. Penerimaan publik
sukarela, yaitu yang objek dan besarannya diserahkan kepada pembayar. Jenis
penerimaan ini meliputi infaq, sedekah, wakaf, hadiah, utang dan sebagainya.
Penerimaan jenis ini dimanfaatkan untuk melengkapi atas kekurangan zakat dan
pungutan yang dilakukan oleh pemerintah.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Keuangan publik
merupakan ilmu yang memperlajari tentang penggunaan dana-dana oleh pemerintah
untuk memenuhi pembayaran kegiatan pemerintah. Karena itu, definisi di atas
menjadikan istilah keuangan publik identik dengan istilah keuangan negara,
ekonomi publik, dan ekonomi sektor publik.
Kebijakan fiskal
merupakan suatu kewajiban negara dan menjadi hak rakyat, sehingga kebijakan
fiskal bukanlah semata-mata sebagai suatu kebutuhan untuk perbaikan ekonomi
maupun untuk peningkatan kesejahteraan rakyat saja, akan tetapi lebih pada
penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil.
Instrument
yang bisa digunakan sebagai
instrument pembiayaan publik, yaitu sebagai berikut
:
a.
Zakat
b.
Aset pembiayaan negara
c.
Kharaj
d.
Jiziah
e.
Wakaf
DAFTAR PUSATAKA
Azwar karim, A. (2006). Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Haniyah, I. (2015). Pengelolaan Keuangan
Publik di Indonesia ditinjau dari Prespektif Ekonomi Islam. Sekripsi.
herry, p. (2008). dasar-dasar keuangan
publik.
Jaelani. (2015). Management of Public Finance in
Indonesia : review of islamic public Finance. Jurnal MPRA hal 1-15.
Rahmawati, L. (2008). Kebijakan Fiskal Dalam
Islam. Jurnal Al Qanun. Vol. 11, no.2, 440-455.
Ririn, t. (2016). Refleksi Prinsip-Prinsip
keuangan Publik Islam Sebagai Kerangka Perumusan Kebijakan Fiskal Negara. Jurnal
Nitri Pro, hal 90-111.
UII, P. (2008). Ekonomi Islam.
Yogyakarta: Rajawali Pers.
[1] Adiwarmman Azwar Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006). Hal.27
[2] Aan Jaelani, “Management of Public Finance in Indonesia: Review
of Islamic Public Finance”.jurnal MPRA No. 69525, 2015, hal 4
[5] Aan Jaelani, “Management of Public Finance in Indonesia: Review
of Islamic Public Finance”.jurnal MPRA No. 69525, 2015, hal 4
[6] M. A. Choudhury, dalam Aan Jaelani, “Management of Public
Finance in Indonesia: Review of Islamic Public Finance”.jurnal MPRA
No. 69525, 2015, hal 9-10.
[7] Lilik Rahmawati, “Kebijakan Fiskal dalam Islam”, jurnal Al
Qanun, vol. 11, no.2, 2008, hal. 442-443
[8] Ibid. Hlm 443
[10] Indiyani, Haniyah, “Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif
Ekonomi Islam ”.Skripsi, 2015, hal 26-27
[11] Indiyani, Haniyah, “Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif
Ekonomi Islam ”.Skripsi, 2015, hal 30
Komentar
Posting Komentar